30 Apr 2014

Lelaki Sejati

Laki-laki sejati bukanlah dia yang disukai oleh banyak wanita,
Laki-laki sejati adalah dia yang memilih untuk tetap setia kepada satu wanita walaupun disukai oleh banyak wanita..


28 Apr 2014

Jika Kau Tak Mampu Taat

Hal yang paling menguntungkan di dunia ini ialah tatkala hati telah diberikan kemalasan untuk berbuat maksiat serta kekecewaan yang mendalam saat ia tak mampu memaksimalkan usia untuk beribadah.

Jika tak mampu menambah pahala dengan taat, janganlah kau tambah dosamu dengan maksiat. 


24 Apr 2014

Taujih Hikmah Pasca Peperangan (Badar) : Tak Perlu Ujub

Setelah perang badar selesai, Nabi Shollallahu'alaihi wasallam memerintahkan untuk menghitung berapa sahabat yang syahid dan berapa musuh yang tewas. Dari kalangan kaum muslimin yang syahid ada 14 sahabat, sedangkan dari kalangan musuh, yang tewas sebanyak 70 orang. Lalu ditambah yang ditawan dari kalangan orang kafir ada sebanyak 70 orang tawanan. Kemudian timbul persoalan, 70 orang tawanan perang ini mau diapakan?

Nabi Shollallahu'alaihi wasallam pun bermusyawarah dan meminta pendapat para sahabat. Nabi Shollallahu'alaihi wasallam meminta pendapat sahabat Abu Bakar r.a dan sahabat Abu Bakar memberikan pendapat: mereka ini sepupu-sepupu kita, saudara-saudara kita dan keluarga-keluarga kita. Sebaiknya mereka dibebaskan dengan tebusan. Bukan semata-mata karena kasihan pada mereka, tapi karena kita ingin mempunyai uang. Dana yang diperoleh bisa memperkuat pasukan kita, membeli senjata sehingga kaum muslimin menjadi lebih kuat lalu kita doakan mereka para tawanan agar memperoleh hidayah dan masuk islam. Demikian pendapat Abu Bakar.

Kemudian Nabi Shollallahu'alaihi wasallam bertanya kepada Umar bin Khattab r.a. Maka Umar berpendapat : Demi Allah pendapatku tidaklah sama dengan pendapat Abu Bakar. Umar meminta pada Nabi 'Ya Rasul, berikan mandat kepadaku untuk membunuh mereka, dan beri mandat kepada Ali untuk membunuh Aqil (saudaranya sendiri), supaya orang-orang musyrik itu jera dan tidak menuntut dan memerangi kita lagi.

Namun Nabi Shollallahu'alaihi wasallam kala itu lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakar, dan pendapat itu pun akhirnya dilaksanakan. Tawanan yang kaya membayar sekitar ribuan dinar, tawanan miskin diwajibkan mengajar anak-anak muslim membaca dan menulis.

Akan tetapi setelah Nabi Shollallahu'alaihi wasallam melaksanakan pendapat Abu Bakar ini, keesokan harinya, ketika Umar r.a bertamu ke rumah Nabi Shollallahu'alaihi wasallam, beliau menjumpai Nabi Shollallahu'alaihi wasallam dan sahabat Abu Bakar r.a dalam keadaan menangis. Sahabat Umar pu kaget dan bertanya, "Kenapa anda berdua menangis?" Sahabat Umar pun terus bertanya kenapa mereka berdua menangis. Nabi Shollallahu'alaihi wasallam menjawab, "Baru saja turun ayat Al Quran dalam surat Al Anfal terkait tawanan perang. Dan di dalam ayat itu diterangkan bahwa Allah membenarkan sikap dan pendapat Umar r.a. Diterangkan seperti itu, semakin keraslah tangisan Umar. Tapi sahabat Umar ini tidak merasa sedikitpun dirinya hebat meski pendapatnya dibenarkan wahyu Ilahi. Karena keputusan telah diambil oleh Nabi Shollallahu'alaihi wasallam, pemimpin umat, dan sahabat Umar r.a sami'na wa atho'na.

Selamat Berjuang !


Taujih Hikmah Pasca Peperangan (Badar) : Tak Perlu Merasa Paling Berjasa

Sudah menjadi kebiasaan Nabi Shollallahu'alaihi wasallam bahwa setelah perang usai, beliau muqim dulu selama tiga hari untuk membereskan semua urusan, baru setelah itu beliau dan pasukannya pulang. Tapi sebelum beliau dan para sahabat pulang ternyata timbul masalah terkait pembagian ghanimah (harta rampasan perang). Hal yang menjadikan masalah adalah masing-masing kelompok merasa paling berhak untuk mendapatkan sebagian besar ghanimah karena merasa paling berjasa dalam kontribusi memenagkan peperangan. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok.

Kelompok yang pertama ialah para sahabat yang bertugas sebagai pasukan garda depan dalam mengusir musuh. Mereka merasa paling berjasa karena mereka berhasil memecundangi dan mengusir musuh sehingga kalah dan lari tunggang langgang dari medan peperangan.

Kemudian kelompok kedua adalah pasukan yang berada di posisi tengah. Mereka merasa bahwa merekalah yang paling berjasa mengumpulkan sekian banyak ghonimah yang ditinggalkan oleh pasukan kafir Quraisy.

Terakhir adalah kelompok ketiga, mereka ialah pasukan yang ditugaskan khusus untuk menjaga keselamatan Nabi Shollallahu'alaihi wasallam. Kelompok ini merasa merekalah yang paling berjasa karena telah berhasil menjaga Nabi Shollallahu'alaihi wasallam dari serangan musuh. Oleh karenanya merekalah yang paling berhak mendapatkan pembagian ghanimah yang paling banyak.

Ibnu Katsir menyatakan keadaan sahabat saat itu adalah tidak menggambarkan sebuah perilaku akhlaq yang terpuji. Saling berebut dan tidak saling menghormati antara satu dengan lainnya. Kita pahami, peristiwa ini terjadi di antara para sahabat Nabi Shollallahu'alaihi wasallam baik yang muhajirin maupun yang anshor. Kita telah tahu bagaimana besarnya pengorbanan para sahabat muhajirin dan anshor. Namun mereka juga manusia biasa dan ketika diuji dengan adanya ghonimah, mereka juga bisa melakukan kekhilafan. tentu hal yang sama juga bisa menimpa pada generasi dakwah selanjutnya, termasuk kita. Wallahu a'lam.

Selamat berjuang !


Taujih Hikmah Pasca Peperangan (Badar) : Tak ada 100% Menang 100% Kalah

Berita tentang perang badar sampai juga ke kota Madinah, padahal Nabi Shollalhu 'alaihi wasallam dan pasukan sahabat belum pulang kembali ke kota Madinah. Di perang badar ini Nabi Shollalhu 'alaihi wasallam mengizinkan sahabat Ustman bin Affan r.a (menantu Nabi) tidak ikut berperang karena sedang menunggui istrinya Ruqoyyah (putri Nabi) yang sedang sakit keras. Usai perang, tercatat jumlah pasukan kafir Quraisy yang terbunuh dalam peperangan cukup banyak dibandingkan dengan pasukan kaum muslimin yang syahid. Pun dengan jumlah ghonimah (harta rampasan perang)  yang didapatkan sangatlah luar biasa banyaknya. Namun Nabi Shollalhu 'alaihi wasallam kembali pulang ke Madinah bersamaan dengan selesainya prosesi pemakaman Ruqoyyah, putri Nabi Shollalhu 'alaihi wasallam sekaligus istri Ustman r.a.Nabi Shollalhu 'alaihi wasallam tidak sempat ikut memandikan, mensholatkan, dan menguburkan putri tercintanya ini.

Kisah ini telah menunjukkan 2 keadaan, di satu sisi Madinah berduka karena meninggalnya putri Nabi Shollalhu 'alaihi wasallam, namun di sisi lain Madinah bergembira karena berhasil mengalahkan pasukan kafir Quraisy Mekkah dan membawa ghonimah yang cukup banyak.

Maka sesungguhnya tidak ada kondisi senang 100% hanya karena kemenangan ataupun sedih 100% karena kekalahan. Semua keadaan pasti ada kebaikan yang harus di manage dengan baik agar selalu menjadi hikmah dan inspirasi untuk perjuangan-perjuangan berikutnya!

Selamat berjuang..


22 Apr 2014

Maafkan Kekurangannya

Kekurangan orang lain adalah ladang pahala bagi kita untuk memaafkannya, mendoakannya, memperbaikinya, dan menjaga aibnya.
Bukan ladang celaan apalagi hujatan...



Sabar Ilmu Tingkat Tinggi

Terkadang Allah datangkan orang untuk memarahi kita, menghina kita, memfitnah kita, membuka aib kita, dan mengumpat kita.
Tidak apa-apa.. Itu semua tanda Allah menyayangi kita untuk menguji sampai mana tahap iman kita. Cukuplah bersabar dan terima semuanya dengan ridho. Jangan kecewa namun bersyukurlah.
Karena memang sabar itu ilmu tingkat tinggi, Belajarnya setiap hari, Latihannya setiap saat, Dan ujiannya sering mendadak..
"Merenungi hakikat sabar"


Keputusan Sang Pemimpin

Bila seorang pemimpin memutuskan keputusan yang baik, lalu diikuti oleh pasukan dan oleh rakyatnya, maka sebanyak itu pahala yang didapat olehnya. 

Tapi bila keputusannya buruk, lalu banyak yang mengikuti keputusan buruk itu, maka sebanyak itu pula pemimpin itu menanggung dosa.

*urgensi kepemimpinan*


Tugas Seorang Pria (Refleksi)

*Teringat sebuah nasihat

Walaupun tugas dan amanah kita banyak, jadwal tersusun padat, nampak seperti orang sibuk ... sempatkanlah untuk pulang menemui orang tua kita meski hanya beberapa jam saja.

Wujudkan kasih sayang kita kepada mereka yang dahulu membesarkan dan mendidik kita dan sekarang terlihat semakin lemah tak berdaya..

Sebagaimana kata orang bijak..

Sesungguhnya tugas seorang pria adalah ...
menjadi anak laki-laki yang menjanjikan masa tua yang damai bagi kedua orang tuanya,
menjadi wakil ayah yang melindungi keluarga,
menjadi suami yang memuliakan istri,
menjadi ayah yang menghebatkan anak-anaknya,
menjadi penasihat yang menenteramkan bagi masyarakat,
dan itu semua dilakukannya karena cintanya kepada sang Pencipta.

*Refleksi Diri



Suasana Malam Minggu

Jangan buang waktumu untuk orang yang tak punya waktu untukmu..
Tapi temukanlah seseorang yang berpikir bahwa waktunya akan terbuang jika ia tak bersamamu..

*suasana malam minggu


Yang Sederhana dari Kalimat Tauhid

Menikmati heningnya malam,
tanpa kegaduhan, pun tidak dengan keramaian.
ialah dia kesendirian..

Jika memang sesuatu itu adalah takdir-Mu, pasti kan Kau mudahkan..
Jika bukan, pasti ada yang lain yang lebih indah dan lebih baik..
Yang telah Engkau persiapkan..

Hanya kepada Allah lah manusia kembali.

-Terapan sederhana dari makna kalimat tauhid-


Pujian Dari Sebuah Cacian

Kalau ada yang menghina anda, anggap saja sebagai sebuah pujian karena dia berjam-jam bahkan berhari-hari telah memikirkan anda, sedangkan anda tak sedetik pun memikirkan dia.

woles saja..

apapun yang terjadi kami tetap melayani...


Allah Hadiahkan Pelangi

Terkadang, 
Allah sembunyikan matahari..
Dia datangkan kilat bahkan petir.

Kita menangis dan bertanya-tanya..
Kemana hilangnya sinar (?)

Rupa-rupanya..
Allah hadiahkan kita pelangi..


Ungkapan Kesendirian

Ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata. (Bung Karno, 1933)

Kadangkala Allah beri kita rasa sunyi dan kesendirian,
walaupun ada insan di sekeliling kita
Sejatinya itu, Allah rindu hendak mendengar kita menangis, mengadu dan bersujud kepadaNya.
Dalam Kesendirian Itu Ada Keindahan.


14 Apr 2014

Perbedaan Bid'ah dengan Mashalih Mursalah


Saudaraku seiman, yang akan kita bahas kali ini sangatlah penting, yaitu persamaan dan perbedaan antara bid’ah dan mashalih mursalah. Dalam bukuMana Dalilnya 1, si penulis tak bisa membedakan antara bid’ah dan mashalih mursalah, akibatnya  ia menggolongkan hal-hal yang merupakan mashalih mursalah ke dalam bid’ah[1]). Seperti ketika menjelaskan  bid’ah wajib, ia mengatakan:
Bid’ah wajib ialah bid’ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Di antaranya adalah:
  1. Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an menjadi satu mushaf demi menjaga keaslian Al Qur’an, karena telah banyak penghapal Al Qur’an yang meninggal dunia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
  2. Memberi titik dan harakat (garis tanda fathah, kasrah dan dzamma pada huruf-huruf Al Qur’an). Pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidinradhiyallahu ‘anhum, Al Qur’an ditulis tanpa titik dan harakat. Pemberian harakat dan titik baru dilakukan pada masa Tabi’in. Tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan baca yang dapat menimbulkan salah pengertian dan penafsiran.
  3. Membukukan Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan ahli Hadits lainnya.
  4. Menulis buku-buku tafsir Al Qur’an demi menghindari salah penafsiran dan untuk memudahkan masyarakat memahami Al Qur’an.
  5. Membuat buku-buku fiqih sehingga hukum agama dapat diterapkan dengan baik dan mudah. [2])
Sebelum menjelaskan kerancuan klasifikasi di atas, ada baiknya kalau kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan mashalih mursalah itu.

Definisi Mashalih Mursalah

Istilah di atas merupakan salah satu istilah ushul fiqih yang masyhur, yang tersusun dari dua kata; mashalih (Ù…َصَالِØ­ٌ) dan mursalah (Ù…ُرْسَÙ„َØ©ٌ). Kata yang pertama adalah bentuk jamak dari ‘maslahah’ (Ù…َصْÙ„َØ­َØ©ٌ) yang artinya manfaat/kemaslahatan. Sedangkan mursalah artinya yang diabaikan. Jadi mashalih mursalah secara bahasa artinya ialah kemaslahatan-kemaslahatan yang diabaikan.
Agar lebih jelas, kita harus tahu bahwa setiap kemaslahatan pasti tak lepas dari salah satu keadaan berikut;
  1. Maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang diperhitungkan)
  2. Maslahah mulghaah (kemaslahatan yang dibatalkan)
  3. Maslahah mursalah (kemaslahatan yang diabaikan)
Maslahah mu’tabarah pengertiannya ialah setiap manfaat yang diperhitungkan oleh syari’at berdasarkan dalil-dalil syar’i. Aplikasi dari maslahah mu’tabarah ini biasanya kita temui dalam masalah qiyas. Misalnya ketika syari’at mengharamkan khamer, sesungguhnya ada suatu alasan yang selalu diperhitungkan dalam hal ini, yaitu sifat memabukkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ÙƒُÙ„ُّ Ù…ُسْÙƒِرٍ Ø®َÙ…ْرٌ ÙˆَÙƒُÙ„ُّ Ø®َÙ…ْرٍ Ø­َرَامٌ (رواه مسلم رقم 2003).
 “Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer itu haram” (H.R. Muslim no 2003).            Karenanya, segala sesuatu yang memabukkan -entah itu makanan, minuman, atau apapun- dihukumi sama dengan khamer. Qiyas semacam ini merupakan bentuk pengamalan akan maslahah mu’tabarah [3]). Karena dengan begitu kita dapat menjaga akal manusia dari segala sesuatu yang merusaknya, yang dalam hal ini adalah khamer. Sedangkan menjaga akal merupakan maslahah yang diperhitungkan oleh syari’at [4]).
Kesimpulannya, pengharaman setiap yang memabukkan seperti miras dan narkoba merupakan maslahah mu’tabarah.
Sedangkan maslahah mulghaah, ialah kemaslahatan yang dianggap batal oleh syari’at. Contohnya ialah maslahat yang terkandung dalam khamer dan perjudian. Allah Ta’ala berfirman,
(البقرة: من الآية 219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (Al Baqarah: 219).
Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa khamer dan judi itu mengandung beberapa manfaat bagi manusia, namun demikian hukumnya haram sehingga manfaatnya dianggap batal oleh syari’at Islam. Inilah yang dinamakan maslahah mulghaah. Contoh lainnya ialah maslahat mencari kekayaan dengan cara menipu dan manipulasi. Kekayaan di sini merupakan maslahat, akan tetapi caranya bertentangan dengan syari’at, sehingga maslahat yang ditimbulkannya dianggap batal. Demikian pula wanita yang mencari uang lewat melacur umpamanya.
Adapun maslahah mursalah, maka tak ada dalil dalam syari’at yang secara tegas memperhitungkan maupun membatalkannya. Singkatnyamaslahah mursalah adalah maslahat-maslahat yang terabaikan –alias tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya,– namun ia sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at [5]). Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, kita tahu bahwa sesungguhnya syari’at ditegakkan di atas azas mendatangkan manfaat dan menolak madharat. Karenanya, segala sarana yang bisa mendatangkan manfaat bagi seorang muslim atau menolak madharat darinya, boleh dipakai selama cara tersebut tidak bertentangan dengan syari’at[6]). Inilah sebenarnya hakekat mashalih mursalah, dan inilah yang sering dianggap bid’ah hasanah oleh sebagian orang yang tidak faham.
Untuk lebih jelasnya, kami akan menyebutkan beberapa persamaan antara bid’ah dan mashalih mursalah:
No
Mashalih Mursalah
Bid’ah
1
Tidak dijumpai di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Tidak dijumpai di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
2
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya

Sedangkan perbedaan antara keduanya ialah:
No
Maslahah Mursalah
Bid’ah
1
Bisa bertambah dan berkurang atau bahkan ditinggalkan sesuai dengan kebutuhan, karena ia sekedar sarana & bukan tujuan hakiki, alias bukan ibadah yang berdiri sendiri.
Bersifat paten dan dipertahankan hingga tidak bertambah atau berkurang, karena iamerupakan tujuan hakiki alias ibadah yang berdiri sendiri dan bukan sarana.
2
Sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi; atau sudah ada tapi ada penghalangnya
Sebab-sebabnya sudah ada di zaman Nabi dan tidak ada penghalangnya.
3
Tidak mengandung unsur memberatkan, karena tujuan dasarnya ialah mencari kemaslahatan.
Mengandung unsur memberatkan, karena tujuannya dasarnya untuk berlebihan dalam beribadah.
4
Selaras dengan misi syari’at (maqashidus syari’ah)
Tidak selaras dengan misi syari’at, bahkan cenderung merusaknya [7]).

Kalau kita merenungi perbedaan-perbedaan di atas, maka kerancuan yang terjadi dalam menentukan mana bid’ah dan mana maslahah mursalah bisa kita hindari. Jika salah satu ciri bid’ah di atas kita temukan dalam suatu masalah, maka ketahuilah bahwa ia termasuk bid’ah, demikian halnya dengan mashalih mursalah.
Kemudian perlu diketahui pula bahwa mashalih mursalah terbagi menjadi tiga: dharuriyyah (bersifat darurat), haajiyyah (diperlukan), dantahsiniyyah (sekedar tambahan/pelengkap). Contoh yang dharuriyyah ialah pembukuan Al Qur’an dalam satu mushaf, sedangkan contoh yanghaajiyyah ialah membuat mihrab di masjid sebagai petunjuk arah kiblat; dan contoh yang tahsiniyyah seperti melakukan adzan awal sebelum adzan subuh[8]). Bertolak dari sini, kita akan menjawab semua yang dianggap bid’ah di atas:
 1. Pembukuan Al Qur’an dalam satu Mushaf
Hal ini termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa alasan; pertama: ia merupakan sarana untuk menjaga keotentikan Al Qur’an dan bukan tujuan hakiki. Karenanya, sekarang Al Qur’an tidak sekedar berwujud mushaf, akan tetapi sudah direkam dalam kaset, CD, dan perangkat elektronik lainnya. Kedua: kendati sebab-sebabnya ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ketika itu ada yang menghalangi para sahabat untuk membukukannya. Karena ketika itu Al Qur’an belum turun seluruhnya, dan sering terjadi nasekh (penghapusan hukum atau lafazh ayat tertentu). Padahal alasan untuk membukukan sudah ada, dan sarana tulis-menulis pun ada. Ketiga: dengan dibukukan dalam satu mushaf, penjagaan akan keotentikan Al Qur’an jadi lebih mudah.
Lebih dari itu, penulisan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan sunnah-nya Khulafa’ur Rasyidin, jadi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah [9]).
2. Pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf Al Qur’an
Sebagaimana pendahulunya, hal ini bukanlah bid’ah namun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah jika dilihat dari tiga sisi. Pertama: ia merupakan cara/wasilah agar orang tak keliru membaca ayat, tapi bukan tujuan hakiki dan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya cara tersebut bisa ditambah/diperlengkap sesuai kebutuhan, seperti tanda-tanda waqafsaktahisymam, dan semisalnya. Kedua: sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena para sahabat semuanya fasih dalam berbahasa Arab, sehingga mereka tak perlu pakai titik dan harakat dalam membaca teks Arab, apalagi sebagian besar mereka masih mengandalkan kekuatan hafalan daripada tulis-menulis. Ketika banyak orang ‘ajam (non Arab) yang masuk Islam, otomatis mereka tak mampu membaca huruf Arab yang gundul tanpa titik dan harakat tadi. Maka diberilah tanda-tanda tertentu sebagai pedoman membaca. Ketiga: tujuannya jelas untuk mempermudah membaca Al Qur’an.
3. Membukukan hadits-hadits Nabi
Ini pun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa hal. Pertama: ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode yang digunakan pun berubah-ubah sesuai kebutuhan[10]). Kedua: belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan periwayatan hadits berada di tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya. Namun ketika terjadi fitnah antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, para pendukung dari masing-masing golongan mulai berani memalsukan hadits atas nama Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan hadits pun semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur dan kuat hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya para ulama terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat hadits tersebut. Ketiga: tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam agar mudah dibaca dan diamalkan.
Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat maslahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.
Demikian pula dengan contoh keempat dan kelima yang disebutkan oleh Novel di atas. Itu semua termasuk maslahah mursalah yang berkisar antaradharuriyyah atau haajiyyah, dan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah kalau kita terapkan penalaran tadi.
Contoh lain dari maslahah mursalah yang sering dianggap bid’ah ialah penggunaan mikrofon dan karpet di masjid-masjid, berangkat haji dengan pesawat terbang, makan dengan sendok dan garpu, cara berpakaian, dan sebagainya. Mereka yang menganggapnya bid’ah hendak menyamakannya dengan tahlilan, shalawatan, peringatan 7 harian, 40 harian, 100 harian, dan bid’ah-bid’ah lainnya. Sehingga kita jadi serba susah kalau ingin membid’ahkan hal-hal semacam ini. Untuk itu mari kita bahas permasalahan ini dengan menerapkan kaidah pembeda antara bid’ah dengan maslahah mursalah.
4. Penggunaan mikrofon di masjid-masjid
Hal ini sama sekali bukan bid’ah secara syar’i, mengapa?
  1. Pertama: karena  mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan, ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya ialah disunnahkannya memilih muadzin  yang bersuara lantang. Ini jelas menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Begitu pula kalau sekali waktu mikrofon itu ngadat, aktivitas tetap berjalan tanpa kurang suatu apa, karena ia tak lebih dari sekedar alat.
  2. Kedua: alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah, karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i.
  3. Ketiga: ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.
5. Berangkat haji dengan pesawat terbang
Hal ini juga sering diidentikkan dengan bid’ah[11]). Tentunya dengan logika yang dangkal pun kita bisa membantahnya… Memang apa sangkut-pautnya antara ibadah haji dan kendaraan yang kita naiki? Adakah seseorang meyakini bahwa dengan naik pesawat hajinya jadi lebih mabrur? Tentu tidak. Ia tak ubahnya seperti orang yang berangkat shalat jum’at dengan naik mobil, sepeda motor, becak, atau kendaraan lainnya. Sama sekali tak terbetik dalam benaknya bahwa kendaraan yang ia tumpangi memberikan nilai plus terhadap ibadahnya. Apa lagi kalau dilihat dari segi sebabnya, jelas di zaman Nabi belum ada sebab-sebab terwujudnya pesawat terbang. Demikian pula dengan fungsinya yang hanya sebagai sarana transportasi belaka. Juga dari sifatnya yang mengikuti perkembangan teknologi. Kalau dahulu kaum muslimin berangkat haji dengan mengendarai unta atau berjalan kaki, kemudian terus berkembang hingga kira-kira di awal abad 20 mulai digunakan kendaraan bermotor dan kapal laut, maka saat ini mereka menggunakan pesawat terbang. Entah kendaraan apa yang akan digunakan seabad kemudian…
Adapun cara makan, jika dilakukan dengan menyerupai orang kafir, atau berangkat dari keyakinan tertentu seperti menghindari jenis makanan tertentu yang dihalalkan dengan niat taqarrub kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada anjuran untuk itu; maka ia termasuk bid’ah. Namun jika tidak demikian maka tidak termasuk bid’ah.
Demikian pula dengan cara berpakaian, ia tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah selama tidak menyerupai orang kafir, atau dilakukan cara tertentu yang tidak berdasar kepada dalil tapi diiringi i’tikad bahwa hal tersebut dianjurkan dalam Islam.
 -bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah


[1]) Demikian pula setiap orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, pasti ia mencampuradukkan antara bid’ah dengan mashalih mursalah.
[2])  Mana Dalilnya 1, hal 29.
[3]) Lihat Mudzakkirah fi Ushulil Fiqh hal 201, oleh Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithy, cet  Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, Madinah Saudi Arabia.
[4])  Para ulama menyebutkan bahwa misi setiap syari’at (maqashidu asy syari’ah) itu ada lima:
  1. Menjaga dien (agama).
  2. Menjaga jiwa.
  3. 3.        Menjaga akal.
  4. Menjaga keturunan.
  5. Menjaga harta. Ada pula yang menambahnya dengan:
  6. Menjaga kehormatan.
(lihat Al Ihkam, 3/274 oleh Al Aamidy, ta’liq Syaikh Abdurrazzaq Al ‘Afify cet. Al Maktabul Islamy; Al Bahrul Muhith (كتبا القياس, تقسيم المناسب) oleh Badruddien Az Zarkasyi; Syarh Al Kaukabul Munier  (باب القياس, الرابع من مسالك العلة المناسبة) oleh Al Futuhy.
[5]) Lihat: Mukhtasar Al I’tisham hal 101 oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar oleh Sayyid ‘Alawi bin Abdul Qadir Assaqqaf, cet 1 1418H  Daarul Hijrah, Riyadh – Saudi Arabia.
[6])  Lihat: Al Inshaf, 26-28.
[7])  Lihat Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’, oleh DR. Muhammad Husein Al Jezany.
[8])  Ibid, hal 29-30.
[9]) Bandingkan dengan bid’ahnya majelis dzikir jama’ah yang sering terlihat di televisi umpamanya. Pertama: hal tersebut adalah tujuan hakiki, bukan sekedar sarana; karenanya ia dianggap sebagai ibadah yang berdiri sendiri. Kedua: sebab-sebab untuk mengadakannya sudah ada di zaman Nabi; dan tidak ada yang menghalangi para sahabat untuk melakukannnya. Ketiga: ia mengandung unsur memberatkan karena sifatnya menambah aktivitas ibadah seseorang. Keempat: tidak sesuai dengan misi syari’at dan dalil syar’i, diantaranya firman Allah yang maknanya: “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan khusyu’ dan rasa takut, serta dengan tidak mengeraskan suara, baik di pagi  maupun petang hari…” (Al A’raf: 205).
[10]) Ada yang mengumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya (seperti kitab-kitab musnad); ada pula yang berdasarkan topik-topik tertentu dengan hanya memasukkan yang shahih saja (disebut Jaami’, seperti Al Jaami’us Shahih atau Shahih Bukhari dan Shahih Muslim); ada lagi yang khusus berkenaan dengan masalah fiqih (disebut Sunan, seperti Sunan Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dll), dan seterusnya. Ini menandakan bahwa penyusunnya tidak mempertahankan model tertentu tapi sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.
[11]  Dalam buku Mana Dalilnya hal 31, Novel menggolongkannya dalam bid’ah mubah.

7 Apr 2014

Polemik Fatwa Demokrasi, Ikut Yang Mana?

Demokrasi, seakan adalah sebuah penyakit yang telah berhasil menjangkiti umat islam dan membawa mereka ke dalam perpecahan. Memang tak bisa dipungkiri bahwa perdebatan tentang demokrasi sudah terjadi di tataran para ulama yang akhirnya melahirkan berbagai macam fatwa dengan segala kontroversinya.

Ulama Islam pro demokrasi sering melontarkan ucapan bahwa bila aktivis anti demokrasi harus konsekuen ketika mereka menolak demokrasi, maka harus total jangan menikmati hasil demokrasi dalam arti hal-hal yang disediakan oleh negara ini. Hal ini pun disambut oleh aktivis anti demokrasi dengan menolak total segala bentuk yang terkait demokrasi bahkan diiringi dengan tindak berlebihan dengan pengkafiran-pengkafiran kepada semua orang yang bersinggungan dengan unsur negara demokrasi.

Hal-hal yang sering didengungkan seputar kebathilan demokrasi tak lepas dari, proses tahkim (berhukum kepada selain hukum Allah), tasyri’ (membuat hukum dan menyampingkan hukum Allah) dan segala bentuk turunan dari kedua hal diatas yang secara langsung berkonsekuensi haram, kufur ataupun syirik. Bahwa untuk memperoleh kejayaan islam adalah dengan kesungguhan mengikuti hukum Allah dan bukan malah dengan mengikuti sistem jebakan demokrasi yang dibuat oleh Amerika dan Yahudi. Ulama anti demokrasi sering memperingatkan bahwa apa yang terjadi di Mesir dan Aljazair merupakan sebuah pelajaran bahwa perjuangan melalui kotak suara tak akan bisa menyelesaikan masalah, justru menambah masalah.

Sementara pihak yang pro demokrasi memandang bahwa sistem demokrasi ini adalah sistem pemerintahan terakhir (pilihan terakhir) yang paling bisa dimanfaatkan untuk penyelenggaraan Negara yang berhukum kepada hukum Allah ketimbang sistem pemerintahan lain, misal sistem kapitalis, komunis, diktatoris atau liberalis. Akhirnya pihak pro demokrasi mengatakan bahwa demokrasi tidak serta merta begitu saja dianggap sebagai sistem kufur. Alasannya, karena demokrasi itu tidak ada standar yang baku. Sebab dengan sistem ini seorang ulama bisa jadi Presiden atau ketua MPR. Dari sisi hukum bisa terjadi misalnya sebuah Undang-undang dibatalkan oleh sekelompok ulama, karena dianggap merugikan umat Islam. Padahal di Negara demokrasi lain hal ini tidak mungkin terjadi. Di Negara demokrasi dimana umat Islam mayoritas, bisa terjadi suatu Undang-undang berlandaskan hukum-hukum Islam. Jadi sistem ini bisa diarahkan untuk menerapkan hukum Allah, jika umat Islam memiliki SDM yang cukup. Faktanya di Negara demokrasi seperti Indonesia bisa lahir hukum pernikahan Islam, hukum pengharaman miras, judi, perzinaan, pencurian dsb. Jadi kalau orang ragu untuk hidup di tengah sistem demokrasi atau tidak ikut memperjuangkan Islam melalui sistem demokrasi maka ia akan dimanfaatkan oleh mereka yang menggunakan demokrasi untuk menguasai kaum muslimin. Ini bisa menjadi sangat tragis.

Seakan perdebatan semakin seru ketika adu argumen terus terjadi. Ulama anti demokrasi berpendapat bahwa produk demokrasi berupa pelayanan negara terhadap rakyatnya seperti subsidi-subsidi kebutuhan-kebutuhan rakyat dan bentuk pelayanan lain hakikatnya adalah hak rakyat sendiri yang harus ditunaikan oleh negara tanpa melihat sistem yang dianut oleh negara tersebut. Pasalnya negara yang tidak menganut sistem demokrasi pun melakukan hal yang sama, itupun ditambah bahwa subsidi-subsidi itu juga berasal dari uang rakyat yang ditarik oleh pemerintah melalui pajak. Jadi menikmati pelayanan Negara tersebut seperti pengurusan KTP, buku nikah, dan pos-pos pelayanan masyarakat yang lain, menurut para aktivis anti demokrasi hakikatnya adalah mengambil kembali hak rakyat yang diambil oleh negara berupa pajak dan lain-lain. Para aktivis anti demokrasi menganggap memanfaatkan subsidi Negara demokrasi adalah bukan sebagai tindakan berdemokrasi tapi sebagai tindakan memanfaatkan celah demokrasi. (sumber : sahabat mpi)

Sementara itu ulama-ulama dan aktivis demokrasi kurang bisa menerima alasan tersebut karena bagaimanapun, hal itu adalah salah satu ‘manfaat’ yang diperoleh kaum muslimin dari paket sistem negara demokrasi ini. Ulama pro demokrasi menganggap bahwa umat islam saat ini tidak bisa lepas dari faktor realita yang mengharuskan mereka hidup di sebuah Negara demokrasi. Oleh karena kaum muslimin tidak bisa lepas dari kondisi realita tersebut, ulama-ulama pro demokrasi menyerukan untuk melakukan perjuangan politik masuk ke dalam parlemen dan mendirikan partai dakwah untuk melakukan islamisasi dari dua arah, yakni bottom-top dan top-bottom. Partai dakwah yang telah dibentuk diharapkan mampu untuk melakukan islamisasi terhadap undang-undang Negara sehingga hukum Allah dapat ditegakkan. Sementara di sisi lain kader-kader partai islam ini tetap melakukan kerja-kerja dakwah, melakukan pembinaan-pembinaan keluarga dan masyarakat sehingga tatkala undang-undang sudah berprinsip pada hukum Allah, masyarakat sudah menerima dan siap melaksanakan undang-undang Negara yang berafiliasi kepada hukum Allah.

Kesimpulan dari masing-masing pihak adalah, ulama anti demokrasi sama sekali tidak ingin berkompromi dengan demokrasi karena topik ini adalah sudah menyangkut ke ranah aqidah yang dapat menyeret para pelaku demokrasi ke dalam jurang kekufuran. Sementara ulama-ulama pro demokrasi, secara ideologis tetap menganggap bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang harus umat islam tolak dengan tegas dalam hati, namun dibarengi dengan sikap realistis bahwa umat islam sekarang berada pada pilihan hidup di sebuah Negara demokrasi yang tak bisa dihindari.

Bagaimanakah harus bersikap

Lantas, bagaimanakah kita harus bersikap? Kepada siapakah kita harus memberi dukungan? Sebelum menjawab pertanyaan ini akan disampaikan bahwa dalam agama islam ada sebuah konsep yang bernama ijtihad, dimana dalam islam ijtihad merupakan sumber hukum ketiga yang dapat digunakan kaum muslimin setelah Al Quran dan Hadist.

“Apabila  seorang  mujtahid (hakim)  akan  memutuskan  perkara, lalu ia melakukan  ijtihad,  kemudian  ijtihadnya  benar,  maka   ia memperoleh   dua   pahala   (pahala   ijtihad   dan   pahala kebenarannya). Jika mujtahid (hakim) akan memutuskan  perkara,  dan  ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya  salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)."
(Riwayat  Bukhari Muslim).

            Maka dari hadist di atas telah jelas bahwa hasil ijtihad dari ulama-ulama yang shalih yang senantiasa menjaga agamanya, tidak ada alasan bagi kita untuk mencela fatwa-fatwa mereka apalagi sampai menghujatnya. Insha Allah mereka telah berijtihad, dan jika salah pun adalah mendapat satu pahala.

Yang kedua adalah ibroh (hikmah) dari shiroh nabawi tentang kisah sahabat yang memasuki perkampungan bani Quroizhoh saat perang Ahzab. Rasullullah shollalhu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka:”Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan:”Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela yang manapun.”
(H.R Bukhori Muslim)

Dari hadits ini, jumhur ulama mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut.

      Yang ketiga yang paling berat adalah harus adanya kehati-hatian dalam perkara kafir mengkafirkan. Sifat iman dan takwa sewajarnya tidak membuat seorang individu muslim itu tidak terburu-buru dalam masalah takfir (mengkafirkan) individu Muslim yang lain. Ini karena implikasinya yang besar dan berat terhadap kedua tertuduh dan yang menuduh. Implikasinya terhadap yang menuduh jika tuduhannya tidak benar; tuduhan kafir itu akan terpantul semula kepadanya. Sabda Nabi Muhammad SAW:

“Barang siapa berkata kepada saudaranya, 'Wahai kafir’, maka pengkafiran itu akan kembali kepada seorang daripada mereka; sama ada ungkapan itu benar atau ia akan kembali kepadanya.” (Riwayat Bukhari & Muslim)


            Maka perihal masalah takfir ini adalah bukan bahasan kita sebagai orang amah yang belum banyak mengerti tentang ilmu agama. Hukuman kafir tidak boleh diambil mudah dan dijatuhkan secara terburu-buru karena terbawa emosi, perbedaan pendapat atau pandangan politik. 

Saatnya Menentukan Pilihan

Maka setelah masing-masing pihak memahami konteks ini dengan baik, maka tidak perlu lagi ada perdebatan tema di luar konteks yang biasanya hanya akan menimbulkan perselisihan atau minimal ketidakenakan hati sesama kaum muslimin. Mari kita renungkan dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, kira-kira kepada pihak manakah pilihan kita akan berlabuh?

Memilih anti demokrasi dengan niat dan kesungguhan menjaga izzah agama namun dengan konsekuensi Negara akan dikuasai orang-orang jahat, dikuasai muslim yang fasik bahkan orang-orang kuffar. Dan kondisi seperti itu telah terjadi di negara-negara timur tengah dengan peperangan berdarah dan konflik bersenjata. Tentu saja ini menjadi ‘surga’ bagi kaum muslimin yang mengusung ideologi jihad fisabilillah. Lantas apakah pilihan ini sesuai jika diterapkan di Negara kita Indonesia? Seandainya Indonesia telah dipimpin oleh pemimpin muslim namun sekuler lagi fasik yang memimpin Negara dengan tidak adil, apakah pilihan jihad ini adalah pilihan terbaik?

Atau memilih perjuangan pro demokrasi, dengan menimbang besar kecilnya maslahat yang diterima kaum muslimin, mendirikan partai dakwah, melakukan metode dakwah kepada masyarakat yang lebih moderat dan mudah diterima, membangun kesadaran masyarakat tentang berislam yang sempurna. Tentunya dengan konsekuensi, seberapa besar diri kita siap menerima syubhat-syubhat demokrasi? Siapkah para elit dan kader partai dakwah terkena silaunya gemerlap kekuasaan dan harta dunia yang menggiurkan? Seberapa siap kaum muslimin menghadapi ancaman kudeta militer? 

Pilihan ada di tangan Anda. Selamat berjuang !


Terdera Hingar Bingar Politik
Menunggu Datangnya Ramadhan



Surabaya, 6 Jumadil Tsani 1435 H
7 April 2014



 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India