19 Mei 2014

Islam Memandang Masa Depan




Setiap orang tentu punya masa lalu. Masa lalu yg kelam, kekanakan, labil, bahkan sampai yg lebay. Atas masa lalunya itu sebagian ada yg malu, ada yang heran, sampai ada yg tak percaya bahwa itu adalah dirinya.

Namun untungnya islam tak melihat masa lalu..

Teringat Amirul Mu'minin Umar bin Khatab yang menjadi mulia setelah dirinya hina. Khalid bin Walid yang menjadi panglima perang terpandang padahal sebelumnya adalah penentang.

Maka..
Islam itu memandang akhir, bukan awal.

Tak perlu risau seburuk apapun diri kita di waktu lampau. Cukup gunakan masa lalu sebagai pelajaran dan sejarah hidup yg tak perlu disesali. Karena sesungguhnya tidaklah ada penyesalan, yg ada adalah pembelajaran.

Yang terpenting, sudahkah kita membenahi diri utk mempersiapkan akhir terindah dalam kehidupan kita untuk bersiap menjemput kepastian takdir yg akan datang dari-Nya (?)

8 Mei 2014

Ujian Kesenangan



Selama ini kita menganggap ujian yg berbahaya itu ujian yang susah2 saja, seperti disakiti orang, ditipu orang, susah jodoh, sakit, sepatu hilang, dll.


Kita kebanyakan menganggap ujian yg bahaya itu ujian yg tidak enak, padahal ujian yang tidak enak seperti itu banyak yang berhasil menjadikannya sebagai sarana untuk dekat dengan Allah dibanding ujian kesenangan. 

Kita jarang menganggap naik jabatan itu ujian,
kita jarang menganggap bisa beli mobil itu ujian,
Kita jarang menganggap bisa lulus jad sarjana itu ujian,
Kita jarang menganggap rupawan itu ujian,

Kita baru mnganggap kalau muka pas-pas itu ujian, padahal muka ganteng itu lebih berat ujiannya,
Kita sering menganggap sakit itu ujian, padahal sehat itu juga ujian,
Kita sering menganggap dihina itu ujian, padahal dipuji itu jauh lebih berat ujiannya..

Sesungguhnya,
Penghinaan yang membuat kita bisa sadar dan memperbaiki diri jauh lebih baik dari pada pujian yang membuat lalai dan lupa diri.

#UjianKesenangan 

Mempertanyakan Al Ikhwan Al Muslimun sebagai Jamaah Jihad


Sebagai salah satu jamaah dakwah yang berkomitmen menegakkan kalimat tauhid, Al Ikhwan Al Muslimun terus berusaha melebarkan sayap dakwahnya hingga ke seluruh pelosok dunia. Tak dipungkiri, jamaah ini terus berkembang hingga menjadi salah satu kelompok islam terbesar di dunia. Pergerakannya yang syumul dan komprehensif dengan memasuki ranah dakwah politik, perekonomian, pendidikan, dan sosial budaya telah membuat jamaah bentukan dari imam as syahid Hasan Al Banna ini mudah diterima oleh banyak kalangan, mulai dari rakyat jelata hingga elite pejabat Negara sekalipun.

Keseluruhan ladang dakwah yang menjadi garapan Al Ikhwan Al Muslimun itu bukannya tanpa celah untuk menjadikannya bahan olokan dan cibiran oleh kelompok lain, bahkan dari kalangan islamis sendiri tak sedikit yang mengoloknya. Dakwah Al Ikhwan Al Muslimun yang dianggap terlalu toleran dan ‘sedikit pro’ barat, misalnya perjuangan dakwah melalui  parlemen dan demokrasi, telah menyulut banyak kontroversi di kalangan ulama-ulama. Tak sedikit cibiran, cemoohan dan ejekan tertuju pada jamaah ini hanya karena Al Ikhwan Al Muslimun turut terlibat dalam sistem demokrasi tanpa melihat jerih payah lain yang telah saudara-saudara ikhwan lakukan.

Sindiran acapkali datang dari ulama-ulama dan aktivis anti demokrasi, khususnya dari ulama dan aktivis islamis jihady. Mereka mempertanyakan ijtihad Al Ikhwan Al Muslimun yang tidak mau berjuang lewat jalan jihad sebagaimana jalan yang telah dituntunkan oleh Rasul Muhammad SAW. Bahkan tidak sedikit yang melabeli jamaah Al Ikhwan Al Muslimun sebagai jamaah pendukung thogut dan sudah masuk kategori jamaah kuffur karena tidak menggunakan hukum Allah sebagai pedoman hidup. Mereka menganggap Al Ikhwan Al Muslimun  sudah melenceng dari manhaj Rasul SAW, menyebutnya jamaah oprtunis karena sering cari aman, dan enggan melaksankan jihad qital. Intinya mereka mempertanyakan konsistensi dan komitmen Al Ikhwan Al Muslimun terhadap syariat jihad yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana telah dituliskan pada kitab suci Al Quranul Karim.

Dari sini menarik untuk dicermati, apakah benar Al Ikhwan Al Muslimun menolak jihad dan lebih menyukai demokrasi?

Tak kenal maka tak tahu, sebelum kita memberikan justifikasi ini itu kepada Al Ikhwan Al Muslimun, mari kita kenali seluk beluk jamaah ini dari para penggagasnya. Dalam kitab Majmuaturrasail jilid 2 karangan imam as Syahid Hasan Al Banna, telah disebutkan terkait syariat jihad, bahwa jamaah Al Ikhwan Al Muslimun haruslah  memegang teguh syariat jihad. JIhad sebagai mutiara berharga yang hilang ditengah-tengah umat islam, maka ummat harus menjaganya. Karena esensi jihad yang sebenarnya adalah ujung tombak penggerak bagi kejayaan dan Izzah Islam wal Muslimin. Hal inilah yang membuat Imam Hasan Albanna menyoroti dan menyadarkan ummat terhadap pentingnya makna risalah jihad dan kewajiban atasnya berdasarkan kitabullah dan hadist-hadist shahih disertai pendapat para Ahli Fiqih.

Selain itu, Syaikh Fathi Yakan, salah satu aktivis Al Ikhwan Al Muslimun dalam kitabnya yang berjudul Nahwa Wa’yin Harakiyyin Islami Abjadiyyatut Tashawwur Al Haraki lil Amalil Islami (Prinsip-Prinsip Gerakan Islam), pada prinsip yang kelima beliau mengatakan bahwa tarbiyah jihadiyah atau pendidikan jihad adalah satu elemen penting dalam gerakan islam. Beliau memahami betul bahwa persepsi perjuangan jihad ini banyak dipahami berbeda-beda oleh setiap kelompok islam. Ada kelompok yang menolak cara jihad secara keseluruhan. Mereka merasa cukup dengan perjuangan yang lebih rendah dari jihad secara fisik, semisal jihad melawan hawa nafsu jihad mencari nafkah, jihad dengan amar makruf nahi munkar, tanpa memikirkan sama sekali untuk jihad menggunakan senjata dalam mengubah tatanan masyarakat dan mewujudkan revolusi islam. Ada juga kelompok islam yang tidak mau kompromi dengan segala bentuk kerusakan, satu-satunya jalan meraih kemenangan adalah dengan jihad qital atau jihad senjata. Ada juga  jamaah yang menganggap jihad qital hanya dapat dilakukan ketika syarat-syarat untuk melakukan jihad tersebut telah terpenuhi, misalnya ketika musuhnya jelas adalah orang-orang kuffar yang memerangi agama. Pada prinsipnya, Syaikh Fathi Yakan telah menanamkan agar dirinya dan kaum muslimin untuk tetap teguh memegang jalan jihad, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syahid Hasan Al Banna pada kitab Majmuatur rasail.

Setelah kita paham akan kandungan ajaran dan tokoh Al Ikhwan Al Muslimun, sekarang kita buktikan apakah benar Al Ikhwan Al Muslimun enggan melaksanakan jihad qital sebagaimana yang dituduhkan. Tentu kita ingat dengan perang Afghanistan, perang besar yang melibatkan berbagai kekuatan besar dunia, yaitu Uni Soviet, Amerika, dan Umat Islam. Perang Afghanistan ini sejatinya sudah dimulai sejak era tahun 1970-an. Ketika itu Uni Soviet melakukan invasi atas Negara Afghanistan untuk menguasai minyak dan sumber daya alam agar tetap dapat mempertahankan hegemoninya sebagai salah satu Negara adikuasa di dunia selain Amerika. Para ulama saat itu termasuk Syaikh bin Baz di Saudi menyerukan fatwa wajibnya Jihad fi sabilillah membela kaum muslimin di Afghanistan. Pasukan jamaah jihad di Afghanistan mencapai puncaknya setelah Sayyid Quthb yang merupakan pembesar Al Ikhwan Al Muslimun di Mesir menulis kitabnya yang berjudul Ma’alim fi al-Tariq (petunjuk jalan) dari bilik penjara. Buku Sayyid Qutub ini telah mengisnpirasi jamaah jihadi dan kaum muslimin secara besar-besaran berduyun-duyun berangkat ke Afhganistan untuk melaksanakan syariat jihad membela kaum muslimin yang tertindas. Tak ayal, jamaah Al Ikhwan Al Muslimun menjadi fraksi terbesar dalam kelompok jihad di perang Afghanistan tersebut, melebur dan bergabung bersama jamaah islam lainnya seperti dari kalangan salafi jihadi. Tak ketinggalan kader Al Ikhwan Al Muslimun yang memiliki ruh jihad tinggi, yakni Syaikh Abdullah Azam dan Muhammad Qutb (adik Sayyid Qutb) ikut eksodus dari Mesir untuk turut serta berjihad melawan penjajah.

Sekarang kita simak realita kedua yang akan kita awali dengan sebuah pertanyaan, “Siapakah yang saat ini komitmen mempertahankan dan berjuang untuk membela tanah Palestina dari tangah penjajah Israel?” Jika kita cerdas dan mau jujur, jawaban hanya mengerucut pada satu kata, yaitu Hamas (Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah).  Hamas didirikan oleh Syaikh Ahmad Yassin yang telah berbaiat menjadi anggota cabang Al Ikhwan Al Muslimun di Palestina. Latar belakang berdirinya Hamas juga tak lepas dari sikap Fatah, kelompok islam terdahulu yang ada di Palestina yang terlalu bersikap lunak dengan penjajah Israel. Sampai saat ini Hamas tetap komitmen menjadi sayap Al Ikhwan Al Muslimun di Palestina dan tak kenal kompromi terhadap Israel. Bahkan seringkali Israel mengajukan permohonan gencatan senjata tatkala kalah perang dengan brigade Al Qassam, tentara pejuang Hamas.

Saudaraku sekalian, kenalilah orang lain terlebih dahulu sebelum kalian memberikan vonis-vonis negatif kepada mereka. Bisa jadi mereka adalah orang baik yang terkadang kebaikannya sulit kita lihat hanya karena mata kita yang pedih lantaran terkena setitik debu kejelekan.

Silakan ambil kesimpulan, semoga Allah merahmati. Barakallahu fii umrik,
Selamat berjuang...



Surabaya, 8 Mei 2014

*dimuat di dakwatuna.com & bersamadakwah.com






6 Mei 2014

(Waspadai) Dajjalisme Media


Jika kita bisa memilih, tentu kita tak ingin hidup di akhir zaman, di mana huru-hara fitnah akhir zaman amat begitu mengerikan bagi orang-orang yang mengetahuinya. Jika kita boleh memilih, tentu kita akan memilih hidup di jaman Rasullullah shollalahu'alaihi wasallam dan menjadi bagian dari pasukan Nabi untuk menegakkan tauhid di atas muka bumi dan berjuang bersama para sahabat lainnya.

Namun, hidup di masa kini bukanlah keinginan kita, melainkan adalah bagian dari takdir-Nya yang sengaja Allah pilihkan untuk menguji, apakah diri kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang yakin terhadap agama-Nya?

Tak penting, tak perlu bersedih apalagi sampai menyesal meratapi hidup di akhir zaman yang penuh fitnah ini. Allah swt. tak akan menghisab dan mempertanyakan, "Mengapa engkau dilahirkan dan hidup di akhir zaman?". Ya, Allah swt tak akan menanyakan itu, karena itu adalah bagian kecil dari takdir dan kuasa-Nya. Melainkan Dia akan menanyakan, "Mengapa engkau tak ikut berjuang menegakkan tauhid tatkala engkau hidup di akhir zaman padahal sudah datang kepadamu Rasul yang mulia yang membawa risalah akhir zaman?"

Problema seorang muslim. Teringat sebuah hadist Rasul SAW, “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamalkan amalan tersebut. Para Shahabat bertanya: ‘Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau mereka?’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab: ‘Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian’ “. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim) "

Tak ayal, banyak sekali fitnah yang kita hadapi saat ini. Mulai dari  berita bohong, pembunuhan karakter tokoh atau jamaah islam sekalipun kita jumpai marak di berbagai media. Fitnah itu pun tak jarang berasal dari saudara-saudara sesama muslim. Sungguh ironis, tragis, dramastis. Media dengan riang gembira bicara si ini begini dan si itu begitu tanpa adanya kroscek terkait keakuratan berita.

Ya... media bisa dibeli, uang bicara segalanya, sehingga tak salah jika media saat ini sebagai salah satu faktor tak terbantahkan untuk mengendalikan dunia.Sebagai contoh, media begitu antusias meliput dan mengurusi masalah HAM. HAM yang mana? tentu HAM yang menguntungkan pihak tertentu saja, bukan HAM menurut faham universal.

Kita ingat beberapa waktu lalu saat dunia dibuat heboh oleh hilangnya pesawat MH370 yang membawa 239 penumpang. Tak tanggung-tanggung, lebih dari 25 negara turut mencari jejak pesawat itu yang tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, hanya karena sebuah misteri. “Ini adalah solidaritas kami terhadap prinsip kemanusiaan.” Demikian alasan yang sering mereka pakai untuk menunjukkan solidaritas. PM Australia, Tony Abbot bahkan menuturkan, “Kami tak memperhitungkan biaya pencarian ini, kami hanya melakukan apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan misteri ini.”


Di tempat berbeda, tak jauh dari waktu hilangnya pesawat MH370, pengadilan Mesir menyatakan vonis mati untuk 529 anggota Al Ikhwan Al Muslimun, termasuk untuk presiden sah dan terpilih Mesir Muhammad Mursi. Sebuah putusan paling cepat dan paling zalim sedunia. Bagaimana bisa vonis mati diputuskan hanya dengan beberapa menit tanpa menghadirkan pelaku, saksi, dan pembela? Allahul Musta’an.


Maka ada benarnya apa yang dikatakan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi yang saat ini menjabat sebagai ketua MIUMI. “Para pembela kemanusiaan ternyata hanya akan membela manusia yang tidak ada kaitannya dengan agama Islam.”

Contoh lain, tepat 1 April 2014 Brunei Darussalam resmi menerapkan hukum Jinayah, hukum syariat islam sebagai sumber hukum utama Negara. Tak perlu menunggu waktu lama, berbagai protes dan kecaman keras keluar dari pegiat hak asasi manusia internasional. Mereka menilai pemberlakuan pidana syariah Islam itu adalah sebagai langkah mundur bagi perlindungan hak asasi manusia. Bahkan para selebritis Hollywood sepakat memboikot seluruh hotel di Brunei hanya gara-gara Brunei menerapkan hukum syariah. Tentu, media barat mendukung 100% kecaman ini.

Kita lihat, media begitu antusias meliput tentang HAM, tapi sangat antipasti terhadap berita kemanusiaan seorang muslim. Hari-hari ini kita disodorkan oleh media tentang tontonan reality show, akademi fantasy, Indonesian idol, kontes dangdut yang justru telah melakukan kejahatan spiritual kepada anak-anak dan generasi bangsa. Goyang oplosan yang seperti itu sangat digandrungi, jangankan oleh anak-anak kecil kita bahkan oleh seorang kakek-nenek pun sangat menikmati. Sedih, tragis, ironis.

Rasul SAW telah memperingatkan, kelak di akhir zaman akan datang Dajjal yang membawa kerusakan, perpecahan dan fitnah di muka bumi. Karena dahsyatnya fitnah Dajjal itu, Rasul SAW memerintahkan kita berdoa di akhir  sholat.

Secara fisik Dajjal adalah makhluk hidup bermata satu yang akan berada dan berjalan di tengah-tengah manusia. Namun secara budaya, dajjalisme telah hadir di tengah-tengah kita melalui campur aduknya informasi dan maraknya berbagai fitnah yang menyerang kebenaran. Inilah dajjalisme era media massa modern.

Mari kita jaga diri dan keluarga dari berbagai informasi yang tak jelas benar salahnya, Sesungguhnya hanya kepada Allah-lah kita berlindung.



Terinspirasi dari majalah Mulia BMH, edisi Mei 2014






5 Mei 2014

Fiqih Tsawabit dan Mutaghayyirat

Tsawabit (hal-hal baku yang bersifat tetap dan permanen) adalah masalah-masalah ushul (prinsip) di dalam ajaran Islam, dan mutaghayyirat (hal-hal non baku yang mungkin, bisa dan berpotensi untuk berubah-ubah) adalah masalah-masalah furu’ (non prinsip) dari ajaran Islam.

Kriteria dan Cakupan
Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil qath’i (mutlak dan pasti), baik qath’iyyuts-tsubut(kehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan diantara para ulama), maupun qath’iyyud-dilalah(makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak diperdebatkan di antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun Mutaghayyirat adalah masalah-masalah furu’ yang berdalil dzanni (tidak mutlak dan pasti, serta multi interpretasi), baik dalam hal tsubut (kehujjahan)-nya, dilalah (kandungan makna dan pengertian)-nya, maupun kedua-duanya.
Tsawabit adalah masalah-masalah ijma’ yang telah menjadi konsensus yang disepakati di antara para imam berbagai madzhab Ahlussunnah Waljama’ah, dan Mutaghayyirat adalah masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyahyang merupakan wilayah ijtihad para ulama, dan yang telah diperselisihkan atau berpotensi untuk diperselisihkan di antara para imam mujtahidin dari kalangan Ahlussunnah Waljama’ah.
Tsawabit juga meliputi pendapat dan madzhab yang rajih di dalam masalah-masalah khilafiyah yang sempat diperselisihkan oleh para ulama, namun sifat perselisihannya dinilai lemah dan syaadz (aneh dan nyeleneh), seperti perselisiham tentang hukum wanita menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki, atau sifat perselisiannya historis saja (yakni sempat terjadi perselisihan di awal sejarah generasi salaf, namun kemudian terjadi ijma’ setelah itu dan seterusnya), seperti perselisihan tentang hukum nikah mut’ah, dan lain-lain.
Pengklasifikasian masalah menjadi tsawabit dan mutaghayyirat mencakup dan meliputi berbagai aspek ajaran Islam, seperti: aqidah, ibadah, syari’ah, akhlaq, mu’amalah, siyasah syar’iyah, ilmu dan tsaqafah, amal dan tindakan, dakwah dan jihad, dan seterusnya. Namun tingkat prosentase dan perbandingan antara yang tsawabitdan yang mutaghayyirat dalam semua aspek dan bidang tersebut dan lainnya, sangatlah beragam dan berbeda-beda. Dimana ada yang lebih dominan aspek tsawabit-nya seperti masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, sehingga masalah-masalah ini biasa dikenal dengan istilah masalah-masalah ushul. Ada yang lebih dominan aspek mutaghayyirat-nya seperti masalah-masalah mu’amalah dalam berbagai bidang kehidupan, semisal bidang-bidang sosial kemasyarakatan, ekonomi, budaya, pendidikan, politik, dan lain-lain. Dan ada yang hampir seimbang antara aspek tsawabit dan aspek mutaghayyirat-nya, seperti masalah-masalah hukum fiqih dan fiqih ibadah serta lainnya. Namun karena suatu sebab, masalah-masalah dalam bidang terakhir ini, di kalangan para ulama, lebih dikenal dengan istilah dan sebutan masalah-masalah furu’.

Urgensi Fiqih Tsawabit dan Mutaghayyirat
  1. Fiqih tsawabit dan mutaghayyirat merupakan bagian yang sangat penting dan yang tidak terpisahkan dari cakupan al-fiqhu fiddin secara umum.
  2. Fiqih ini termasuk dalam cakupan makna al-hikmah yang merupakan salah satu karunia terbesar dari Allah bagi seorang muslim dan muslimah (lihat QS. Al_Baqarah [2]: 269).
  3. Fiqih ini sangat penting dan urgen, karena membuat seorang muslim dan muslimah memiliki bashirah, yang akan menghindarkannya dari kebingungan dalam menghadapi dan menyikapi berbagai masalah dan persoalan kontroversial yang sangat banyak dan marak saat ini.
  4. Fiqih ini sangat urgen sekali dimiliki setiap muslim dan muslimah, apatah lagi setiap da’i dan da’iyah, untuk memberinya sifat tawazun (proporsional) dan tawassuth (moderat) dalam syakhshiyah(kepribadian), pemahaman, amal, sikap, penilaian, dakwah, dan lain-lain, serta sekaligus untuk menghindarkannya dari sifat dan sikap ghulu (berlebih-lebihan dan ekstrem) dan tasahul(menggampangkan dan memudah-mudahkan). 
  5. Fiqih ini merupakan salah satu dasar dan landasan penting dalam setiap penilaian dan penyikapan yang benar, tepat, adil dan proporsional terhadap masalah, peristiwa, orang, kelompok dan lain-lain.
  6. Fiqih ini adalah salah satu dasar dan landasan yang sangat urgen di dalam fiqih dakwah, manhaj dakwah dan dakwah bilhikmah (lihat QS. An-Nahl [16]: 125).
  7. Fiqih tsawabit dan mutaghayyirat ini juga merupakan dasar dan landasan yang sangat asasi dalam pemahaman fiqih aulawiyat (fiqih menentukan skala prioritas dalam hal ilmu, amal, ibadah, dakwah dan lain-lain), dan penerapan fiqih muwazanat (fiqih menimbang dan membandingkan antara berbagai pilihan dan alternatif).

Kaidah-Kaidah Dasar Penyikapan
  1. Memahami dan mengakui fakta serta realita bahwa, masalah-masalah di dalam ajaran Islam itu terbagi dan terklasifikasikan ke dalam kelompok tsawabit dan mutaghayyirat, atau kategori ushul dan furu’.
  2. Memiliki sikap dasar yang membedakan secara umum antara masalah-masalah tsawabit dan masalah-masalah mutaghayyirat, atau antara persoalan-persoalan ushul dan persoalan-persoalan furu’.
  3. Sikap dasar seorang mukmin dan mukminah terhadap masalah-masalah tsawabit dan ushul (yang benar-benar tsawabit dan benar-benar ushul, dan bukan yang sekadar dianggap tsawabit atau ushul dalam persepsi sebagian kelompok dan golongan!), adalah sikap dasar mengimani, menerima dan mematuhi secara legowo, dan bukan sikap meragukan, mempertanyakan, apalagi menolak dan menentang.
  4. Tidak berijtihad dan tidak menerima ijtihad siapapun dalam masalah-masalah taswabit dan ushul.  
  5. Tidak mentolerir adanya khilaf, perbedaan dan perselisihan dalam hal tsawabit atau ushul. Namun di saat yang sama berperan aktif dan berkontribusi positif dalam upaya menyatukan dan mempersatukan ummat atas dasar tsawabit dan ushul.
  6. Meyakini dan menyikapi setiap perselisihan dalam hal tsawabit dan ushul sebagai sebuah mukhalafah syar’iyah (pelanggaran syar’i), dhalal mubin (kesesatan nyata) dan sekaligus sebagai suatu bentukiftiraq/tafarruq madzmum (perpecahan tercela), yang berpotensi melahirkan firqah sempalan yang sesat dan menyesatkan.
  7. Masalah-masalah tsawabit dan ushul-lah – dan bukan masalah-masalah mutaghayyirat – yang menjadi representasi kerangka, standar dan parameter manhaj As-Salaf Ash-Shalih dan Ahlussunnah Waljama’ah.
  8. Menjadikan hal-hal tsawabit dan ushul – dan bukan qadhaya mutaghayyirat – sebagai standar, parameter dan patokan dalam menilai serta menyikapi manhaj dan dakwah setiap kelompok, golongan, organisasi, jamaah dan harakah.
  9. Menjadikan prinsip-prinsip tsawabit atau ushul – dan bukan hal-hal mutaghayyirat – sebagai standar, parameter dan ukuran komitmen dan  ke-istiqamah-an seseorang atau suatu kelompok.
  10. Menerapkan dan memberlakukan prinsip aqidah al-wala’ wal-bara’ dalam bab-bab tsawabit atau ushul, dan bukan dalam konteks masalah mutaghayyirat atau furu’.
  11. Mengedepankan, mementingkan, mengutamakan, memprioritaskan dan menonjolkan masalah-masalahtsawabit dan ushul atas masalah-masalah mutaghayyirat dan furu’, baik dalam ilmu, amal, dakwah maupun sikap.
  12. Berkomitmen dalam menerima, mengakui dan mempraktikkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah fiqhul ikhtilaf dalam menyikapi masalah-masalah mutaghayyirat dan furu’ (lihat dan baca materi fiqhul ikhtilafoleh penulis atau lainnya).Ditulis oleh Ahmad Mudzoffar Jufri, MA

Fiqhul Ikhtilaf (Memahami & Menyikapi Perbedaan & Perselisihan)

Macam-Macam Ikhtilaf (Perbedaan)
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan inimencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir.
Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
  1. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atauiftiraq(perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain.
  2. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.
Antara Ikhtilaf (Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruqatau iftiraq antara lain karena:
  1. Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.  
  2. Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir, dan karenanya senantiasa disikapi dengan sikap wala’ dan bara’ (?).
  3. Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain. 
Hakekat Ikhtilaf dalam  Masalah-masalah Furu’
  1. Ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang dimaksud adalah : perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan.Sehingga perlu ditegaskan di sini bahwa, yang dimaksudkan dengan ikhtilaf yang ditolerir itu bukanlah setiap fenomena perbedaan dan perselisihan atau kontroversi dalam bidang agama yang secara riil terjadi di antara kelompok-kelompok dan golongan-golongan ummat di masyarakat saat ini misalnya. Karena faktanya, sudah banyak sekali bentuk dan materi perselisihan di tengah-tengah masyarakatmuslim saat ini, bahkan yang melibatkan sebagian kalangan yang dikenal ’ulama’ sekalipun, yang sudah termasuk kategori masalah ushul dan bukan masalah furu’ lagi.
  2. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena yang normal, wajar dan alami, karena dua hal (minimal): 1) Tabiat banyak teks dalil syar’i (baik sebagian teks ayat Al-Qur’an, maupun khususnya teks Al-Hadits) yang memang dari sononya telah berpotensi untuk diperdebatkan dan diperselisihkan. 2) Tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya. Maka hitungan matematikanya adalah: Teks dalil yang multi interpretasi + Akal yang berbeda-beda = Perbedaan dan perselisihan!
  3. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun, karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada, dan bahkan semakin bertambah banyak !
Sebab – Sebab Terjadinya  Ikhtilaf
Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
  1. Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
  2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
  3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
  4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal diBaghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.
Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf ?
  1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
  2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
  3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu(perselisihan ummatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam perbedaan pendapat para imam).
  4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
  5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
  6. Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
  7. Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah &  tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
  8. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikapmutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf)!
  9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
  10. Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf  dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
  11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah) – sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah (?). Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan bagian dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri!
  12. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
  13. Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu!
Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf
  1. Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun tohmereka tidak saling mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
  2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
  3. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
  4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
  5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
  6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah (atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah) pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justeru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
  7. Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat Abu Hanifahrahimahullah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366).
  8. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyibrahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
  9. Imam Abu Hanifah rahimahullah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras ... (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109).
  10. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifahrahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
  11. Diceritakan dari Imam Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali rahimahullah bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau. Maka beliau berkata kepadanya: Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami? Ia menjawab: Saya meninggalkan madzhab itu karena saya senang dan tertarik denganmu. Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata: Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka statusmu tetap berada dalam madzhab Asy-Syafi’irahimahullah  seperti penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik (lihat: Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah hal. 483).
    Ditulis oleh Ahmad Mudzoffar Jufri, MA

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India