29 Jan 2015

Deklarasi Menyikapi Khilafiyah

Rekan-rekan yang dirahmati Allah, terkadang kita sering berselisih ketika ada perbedaan sebuah pendapat/fatwa. Dua pendapat yang disuguhkan sama-sama kuat, sama-sama berdalil Quran dan Hadist, sama-sama disampaikan oleh ulama'-ulama' khibar. Lantas jika sampai sudah pada keadaan seperti, maka sikap yang selanjutnya kita ambil bukanlah malah saling menyalahkan pendapat yg lain, melainkan mengambil sikap pertengahan yakni menentukan pilihan.

Berikut ini penulis lampirkan tulisan bijak dari Ustadz Ahmad Mudhoffar, MA. Semoga bisa menjadi pegangan kita tatkala menghadapi perbedaan pendapat yang sama-sama rajih.

Dengan ini kami menyerukan dan mengajak seluruh muslimin dimanapun berada, untuk bersepakat dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat dan madzhab diantara para imam dan ulama Ahlussunnah Waljamaah, dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, dengan butir-butir penyikapan dan kesepakatan sebagai berikut:
Pertama, kita semua sepakat menerima, mengakui dan mentolerir adanya perbedaan pendapat para imam dan ulama itu, sebagai hal yang normal dan wajar, karena ia merupakan buah alami dan konsekuensi logis dari ijtihad mereka. Serta sepakat menyikapi seluruh madzhab ulama Ahlussaunnah Waljamaah sebagai pilihan-pilihan yang secara umum ditolerir bagi siapapun untuk memilih madzhab apapun diantaranya.
Kedua, kita sepakat untuk selalu berusaha melakukan pemilihan diantara pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang mu’tabar (diakui) itu secara bertanggung jawab, sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing. Dimana bagi ulama mujtahid, andai ada, pilihan harus dilakukan berdasarkan hasil ijtihadnya. Sedangkan bagi kalangan penuntut ilmu syar’i, yang telah mampu memahami dalil dan mendalami istidlal para ulama, pilihan didapat melalui jalan ber-ittiba’, yakni dengan mengikuti madzhab imam mujtahid disertai pemahaman akan dalilnya, dan atau dengan melakukan pengkajian serta perbandingan untuk menentukan pendapat yang rajih (kuat) menurutnya. Adapun bagi kaum muslimin kebanyakan yang awam sama sekali, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid, yakni mengikuti ulama rujukan terpercaya yang diakui kapasitas dan kredibilitasnya, meskipun tanpa harus tahu dalilnya dan paham istidlal-nya. Yang penting dalam ber-taqlid ini, minimal ada dua syarat utamanya, yaitu: bahwa ulama yang ditaqlidi dan diikuti adalah ulama yang tepat, dan bahwa taqlid dilakukan secara tulus dan ikhlas, yakni tidak dalam rangka memperturutkan hawa nafsu, misalnya dengan sekedar tatabbu’ur-rukhash (nyari-nyari yang serba ringan dan nyaman saja).
Ketiga, kita sepakat melihat dan menyikapi pendapat atau madzhab yang akhirnya dipilih dan diikuti oleh masing-masing diantara kita, sesuai cara dan pola yang telah disebutkan diatas, sebagai sebuah pilihan dan bukan sebagai sebuah keyakinan! Oleh karenanya, kita sepakat untuk tidak menunjukkan sikap mutlak-mutlakan terhadap pendapat yang kita pilih, begitu pula terhadap pendapat serta madzhab yang lain. Juga tidak menyikapi masalah khilafiyah ijtihadiyah ini dengan pola pendekatan haq-batil, atau sunnah-bid’ah, atau lurus-sesat, atau wala’ (cinta) dan bara’ (benci)! Namun selalu mengedepankan dan menonjolkan sikap toleransi sesuai tuntutan kebutuhan dan kemaslahatan, di bawah naungan prinsip ukhuwah islamiyah, dan berlandaskan semangat persatuan dan penyatuan ummat.
Keempat, kita semua sepakat untuk tetap dan senantiasa mengutamakan, mengedepankan dan memprioritaskan masalah-masalah ushul (prinsip) yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ (non prinsip) yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah. Sehingga jangan sampai perhatian dan kesibukan kita yang besar terhadap masalah-masalah khilafiyah, mengalahkan dan mengorbankan perhatian serta kesibukan kita terhadap masalah-masalah pokok yang disepakati.
Kelima, kita sepakat bahwa, untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, masing-masing kita berhak mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (kuat) menurut pilihannya. Meskipun sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (perbedaan pendapat), sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” (keluar dan lepas dari wilayah khilafiyah adalah sangat dianjurkan). Sementara itu terhadap orang lain dan atau dalam hal-hal khilafiyah yang terkait dengan kemaslahatan bersama, kita semua sepakat untuk mengambil sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan kita masing-masing. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kejamaahan, kemasyarakatan, dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan bahkan kompromi. Termasuk sampai pada tingkat kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang menurut kita marjuh (lemah) sekalipun, jika memang ada kemaslahatan untuk itu.
Keenam, kita semua sepakat untuk menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati, yakni masalah-masalah ijma’ – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah khilafiyah – sebagai standar komitmen dan ukuran keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya.
Ketujuh, kita harus sepakat untuk senantiasa menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) diantara kita dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah, tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan serta pemahaman saja, dan tidak masuk atau berpindah ke wilayah hati. Agar perbedaan kita itu tetap sebagai perbedaan keragaman (ikhtilafut-tanawwu’) yang ditolerir dan bahkan indah, dan tidak berubah menjadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut-tafarruq) yang tercela, dan yang akan merusak ukhuwah serta melemahkan sikap saling tsiqoh (percaya) di antara sesama kaum mukminin.
Kedelapan, kita semua sepakat untuk menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain, dalam konteks khilafiyah dimaksud, sesuai dan berdasarkan kaidah penyikapan berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu! Dan ini tidak lain adalah salah satu bentuk penerapan terhadap makna dan kandungan hadits terkenal (yang artinya): "Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kamu sampai ia menyukai untuk saudaranya apa-apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri" (HR. Muttafaq 'alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu).
Kesembilan, kita semua harus sepakat untuk menilai, menyikapi dan memperlakukan praktik penganut, pengikut atau pemilih madzhab lain, berdasarkan sudut pandang madzhab yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan sudut pandang madzhab kita, yang tentu saja berbeda dan bahkan bertentangan dengannya. Karena hanya dengan prinsip dan cara pandang seperti inilah, kita bisa memiliki sikap toleransi dan bahkan kompromi dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, seperti yang telah disebutkan diatas. Dan sekaligus hanya prinsip dan cara pandang ini pulalah yang bisa menjelaskan dan menanfsirkan sikap toleransi dan kompromi para ulama salaf dalam hal-hal khilafiyah ijtihadiyah, yang bahkan sampai pada tingkat kesiapan mereka – dalam kondisi-kondisi tertentu – untuk "mengalah" dan mengikuti pendapat atau madzhab imam mujtahid lain, seperti dalam banyak contoh dan teladan dari sirah mereka.
Akhirnya, marilah kita semua berdoa dengan tulus, ikhlas, khusyu', tawadhu' dan sungguh-sungguh :
Allaahumma Rabba Jibraa-iil wa Miikaa-iil wa Israafiil, Faathiras-samaawaati wal-ardh, 'Aalimal ghaibi wasy-syahaadah, Anta tahkumu baina 'ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun. Ihdinaa lima-khtulifa fiihi minal-haqqi bi-idznik, innaka tahdii man tasyaa-u ilaa shiraathim-mustaqiim! (Ya Allah, Rabb Jibrail, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui alam ghaib dan alam nyata, Engkau-lah Yang memutuskan diantara hamba-hamba-Mu, dalam (hal-hal) yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami pada kebenaran dalam (hal-hal) yang diperselisihkan itu, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau-lah Yang memberi petunjuk bagi orang yang Engkau kehendaki, kepada jalan yang lurus!) 
Subhaanakal-Laahumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illaa Anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik!

28 Jan 2015

Untukmu yang Merasakan


Nak, menggapai cita-cita itu bukanlah semacam memetik bunga di waktu semi yang bisa dengan mudah kalian nikmati keindahannya. Bukan pula sesulit yang kalian bayangkan. Masa depan yang oleh orang lain mereka jadikan seperti merengkuh langit, jadikanlah oleh kalian seperti merengkuh langit-langit. Menuju kesana memang agak sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin. Kalian cukup perlu mengambil pijakan, dan raihlah langit-langit itu. Mudah, sedikitlah berusaha. 


Anakku, ustadz akan ajarkan ilmu buah kelapa. Sungguh betapa bermanfaatnya dia bagi kita. Buah kelapa, saat dia masih bergantung di atas pohon dia harus DIPOTONG, kemudian dia JATUH. Setelah itu diambil, kemudian DIBELAH, setelah itu DIPARUT dan DIPERAH sari patinya. Sungguh kasihan buah kelapa. Namun apakah itu semua menjadikannya tidak bermanfaat? Tentu tidak. Apa jadinya kalau masakan kita tanpa santan? Hambar.


Terkadang memang kita jenuh dengan rutinitas. Tak jarang kita berkata “aku lelah”. Tapi tahukah kalian bahwa seseorang yang “lillah” tak akan mudah mengatakan lelah. Istiqomahlah, dan kalian akan menikmati proses. Janganlah tertekan oleh hasil yang ditargetkan. Melainkan, jadikan itu motivasi. Periksa kembali hati kalian, untuk siapa semua ini kalian lakukan?


Ustadz mengingatkan, bahwa bukanlah penderitaan yang kalian alami. Namun perjuangan yang perlu kalian tekuni. Memang begitulah kehidupan. Hidup yang kalian alami pastilah tak semulus jalan tol. Semua ujian harus dialami. Ujian kehidupan sejatinya bukanlah masalah. Yang jadi masalah adalah jika kalian salah menyikapinya. Betapa banyak kisah orang-orang sukses yang diawali dengan penderitaan dan kesulitan. Bahkan tak ada satupun orang sukses di dunia ini yang kehidupannya tak diawali dengan kesulitan.


Saling bekerja samalah. Salinglah memotivasi dan mengingatkan. Katakan kepada teman seperjuanganmu “kamu bisa!”. Pada akhirnya hanya kepada Allah lah segala ikhtiar kita dikembalikan. Yang Lillah tak akan pernah mengatakan lelah.

Tetaplah bersama, karena saudara itu tak selalu lahir dari rahim ibumu.



Untukmu anak-anakku,

Taipei, 29 Januari 2015



25 Jan 2015

Tentang Ahlul Fatrah

Pertanyaan tentang nasib orang tua Nabi Muhammad Shollalhu 'alaihi wasallam cukup sering dilontarkan mengingat mereka adalah orang baik yang telah melahirkan manusia terbaik di muka bumi. Apakah kedua orang tua Nabi berada di surga ataukah neraka?

Untuk membahas hal ini kita tidak bisa terlepas dari bahasan ahlul fatrah. Siapa ahlul fatrah itu? Kata fatrah disebutkan dalam kitab suci al-Qur’ân, yaitu dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَىٰ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ ۖ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Wahai ahli kitab, sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada kamu, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika fatrah (terputus pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Mâidah:19)

Secara bahasa fatrah berarti terputus atau lemah. Adapun menurut istilah, fatrah adalah zaman antara dua Rasul dari para Rasul Allâh Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Mukhtârus Shihhah, bab: fa ta ra).

Dan ahlu fatrah adalah orang-orang yang hidup di zaman fatrah. Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân hafizhahullah mengatakan, “Yang benar, ahlu fatrah adalah orang-orang yang hidup di antara dua rasul. Rasul yang pertama tidak diutus kepada mereka (yakni dakwahnya tidak sampai ke masa hidup mereka-red), dan mereka belum menemui rasul yang kedua.”[1]

Kalimat fatrah dalam ayat diatas adalah zaman sesudah Nabi Isa Alaihissallam dan sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, sebagaimana dikatakan oleh para Ulama’ ahli tafsir. Dengan demikian, kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di zaman fatrah.

Mungkin ada pertanyaan, apakah semua orang yang hidup di zaman fatrah tidak akan disiksa atau tidak masuk neraka ? Dalam masalah ini ada perincian:

1. Semua umat atau bangsa telah kedatangan Rasul. Oleh karena itu -setelah diutusnya Rasul-barangsiapa beriman dan taat, akan mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, barangsiapa kafir dan durhaka, akan mendapatkan kecelakaan.

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ۚ وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. [Fâthir/35:24]

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Yaitu tidak ada satu umatpun keturunan Adam Alaihissallam yang telah lewat kecuali Allâh telah mengutus orang-orang yang membawa peringatan kepada mereka dan menghilangkan alasan-alasan mereka”. (Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, surat Fâthir/35 ayat ke-24). Lalu beliau rahimahullah menyebutkan ayat-ayat lain yang semakna, yaitu firmanNya:

وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ ۗ إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ

Orang-orang yang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Rabbnya ?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk. [ar-Ra’d/13: 7]

Juga firmanNya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Beribadahlah kepada Allâh (saja), dan jauhilah thaghut (thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla itu) [an-Nahl/16: 36]

2. Pribadi-pribadi yang belum sampai kepadanya dakwah Rasul, maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan menimpakan siksa kepadanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [al-Isrâ'/17: 15]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, ''Ini merupakan pemberitaan keadilan Allâh Azza wa Jalla . Yaitu Allâh Azza wa Jalla tidak akan mengadzab seorangpun kecuali setelah hujjah ditegakkan kepada orang tersebur dengan mengutus seorang Rasul kepadanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِير ٌقَالُوا بَلَىٰ قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ

Setiap kali sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalam neraka, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan ?" Mereka menjawab, "Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, tetapi kami mendustakan (nya) dan kami katakan: "Allâh tidak menurunkan sesuatupun,; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar". [al-Mulk/67:8-9]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ ۚ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

Dan mereka (orang-orang kafir) berteriak di dalam neraka itu : "Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang shaleh, berbeda dengan apa yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami (Allâh) tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan ? Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zhalim. [Fâthir/35: 37].

Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memasukkan seorangpun ke neraka kecuali setelah mengutus Rasul kepadanya''. (Lihat Tafsir al-Qur'ânil 'Azhîm)

3. Orang-orang yang hidup di zaman fatrah, ada yang sudah sampai kepadanya dakwah Rasul, ada yang belum. Bagi yang sudah, maka hukumnya jelas, sebagaimana point 1. Bangsa Arab secara umum, sudah sampai kepada mereka dahwah Rasul Allâh, seperti dakwah Nabi Ibrâhîm q dan Nabi Ismâ’îl Alaihissallam . Namun orang-orangnya secara individu tidak bisa ditetapkan sebagai penduduk neraka atau surga, kecuali yang telah dijelaskan oleh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara bangsa Arab yang hidup di zaman fatrah, ada yang sudah sampai kepadanya dakwah, lalu bertauhid, dan tidak berbuat syirik, maka dia pasti selamat. Seperti, Qais bin Sa’idah, Zaid bin ‘Amr Ibnu Nufail, Waraqah bin Naufal, dan lainnya yang disebutkan dalam nash-nash yang shahih bahwa mereka ini meninggal dalam keadaan bertauhid. Sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepadanya dakwah, tetapi tidak bertauhid, bahkan berbuat syirik, maka mereka pasti celaka. Seperti ‘Amr bin Luhay al-Khuza’i, Abdullah bin Jud’an, pemilik tongkat bengkok yang mencuri barang-barang jama’ah haji, kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan lainnya yang telah diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih. Kewajiban kita adalah mengimani hadits yang telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2] .

4. Mengenai orang-orang yang hidup di zaman fatrah yang belum sampai kepada mereka dakwah, para ulama berselisih pendapat tentang keadaan mereka di akhirat. Yang râjih –wallâhu a’lam- sebagaimana dinyatakan oleh para ulama peneliti, bahwa orang-orang ini akan diuji diakhirat. Disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini: (hal. 12)

عَنِ اْلأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ nقَالَ أَرْبَعَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَصَمُّ لاَ يَسْمَعُ شَيْئًا وَرَجُلٌ أَحْمَقُ وَرَجُلٌ هَرَمٌ وَرَجُلٌ مَاتَ فِي فَتْرَةٍ فَأَمَّا اْلأَصَمُّ فَيَقُولُ رَبِّ لَقَدْ جَاءَ اْلإِسْلاَمُ وَمَا أَسْمَعُ شَيْئًا وَأَمَّا اْلأَحْمَقُ فَيَقُولُ رَبِّ لَقَدْ جَاءَ اْلإِسْلاَمُ وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونَنِي بِالْبَعْرِ وَأَمَّا الْهَرَمُ فَيَقُولُ رَبِّي لَقَدْ جَاءَ اْلإِسْلاَمُ وَمَا أَعْقِلُ شَيْئًا وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ فَيَقُولُ رَبِّ مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعُنَّهُ فَيُرْسِلُ إِلَيْهِمْ أَنْ ادْخُلُوا النَّارَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ دَخَلُوهَا لَكَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلاَمًا وَفِيْ رِوَايَةٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :فَمَنْ دَخَلَهَا كَانَتْ عَلَيْهِ بَرْدًا وَسَلاَمًا وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا يُسْحَبُ إِلَيْهَا

Dari Aswad bin Sari', bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Pada hari kiamat ada empat orang yang akan mengadu kepada Allâh yaitu seorang yang tuli, tidak mendengar sesuatupun; seorang yang pandir; seorang yang pikun; dan seorang yang meninggal dunia di zaman fatrah.

1. Adapun orang yang tuli akan mengatakan, 'Wahai Rabb, agama Islam telah datang, namun aku tidak mendengar sesuatupun.'

2. Orang yang pandir akan mengatakan, 'Wahai Rabb, agama Islam telah datang, sedangkan anak-anak kecil melempariku dengan kotoran binatang''.

3. Orang yang pikun akan mengatakan: "Wahai Rabb, agama Islam telah datang, sementara aku dalam keadaan tidak berakal sedikitpun''.

4. Dan orang yang mati di zaman fatrah akan mengatakan: "Wahai Rabb, tidak ada seorang rasul pun yang datang kepadaku.' Maka Allâh mengambil perjanjian mereka bahwa mereka benar-benar akan mentaatiNya. Kemudian Allâh mengutus utusan kepada mereka yang mengatakan, 'Masuklah kalian ke dalam neraka!". Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Demi (Allah) Yang jiwa Muhamad berada di tanganNya, seandainya mereka memasukinya, sesungguhnya neraka itu menjadi sejuk dan selamat bagi mereka''.[3]
(Di dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan: "Barangsiapa memasukinya, sesungguhnya neraka itu menjadi sejuk dan selamat baginya. Dan barangsiapa tidak memasukinya, dia diseret ke dalamnya'') [HR. Ahmad, no. 15866. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih al-Jami'ush Shaghir, no. 894]

wallahu a’lam bish shawwab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M]
_______
Footnote
[1]. Adillatu Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fî Abawai ar-Rasûl Shallallahu 'alaihi wa sallam karya al Allâmah Ali bin Sulthân Muhammad al Qâri, tahqîq Syaikh Masyhûr bin Hasan bin Salmân , hlm. 10
[2]. Adillatu Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fî Abawai ar-Rasûl Shallallahu 'alaihi wa sallam karya al Allâmah Ali bin Sulthân Muhammad al Qâri, tahqîq Syaikh Masyhûr bin Hasan bin Salmân , hlm. 11-12
[3]. Adillatu Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fî Abawai ar-Rasûl Shallallahu 'alaihi wa sallam karya al Allâmah Ali bin Sulthân Muhammad al Qâri, tahqîq Syaikh Masyhûr bin Hasan bin Salmân , hlm. 12

24 Jan 2015

Antara Mu'tazilah dan Orang-Orang Liberal

Antara Mu'tazilah klasik dan kaum Liberal masa kini (yang mengaku meneruskan metodologi Mu'tazilah) Mu'tazilah adalah sebuah sekte yang menjadikankan akal di atas segala-galanya. Sehingga penerimaan oleh akal menjadi tolak ukur atau sumber verifikasi kebenaran, bahkan persepsi akal mereka menjadi lebih tinggi kedudukannya daripada teks-teks gamblang Al-Qur'an dan Al-Hadits. Mereka mentakwil dalil sesuai selera akalnya. Akibatnya, pemikiran Mu'tazilah ini memunculkan penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran seperti:
  1. Mengingkari sifat-sifat Allah. Pengingkaran ini termasuk perkara pokok Tauhid ala Mu'tazilah. Karena beranggapan bahwa hanya Dzat Allah yang Qadim, sehingga tak mungkin ada sifat Allah kecuali sifat Allah adalah Dzat Allah itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa sifat adalah suatu entitas tersendiri, sehingga ditolaklah oleh akal versi mereka.
  2. Seorang Muslim yang berbuat dosa besar kedudukannya tidak muslim dan tidak kafir, atau biasanya dikenal dengan istilah "manzilah baina manzilatain". Sementara untuk urusan akhirat, orang berdosa besar selama belum bertaubat akan kekal di neraka. Tidak ada orang berdosa besar yang akan keluar dari neraka.
  3. Mengingkari adanya takdir Allah pada perbuatan hambanya. Menurut mereka manusia memiliki kemerdekaan sejati dalam melakukan perbuatan, atau dengan kata lain perbuatan makhluk tidak diciptakan oleh Allah.
  4. Al-Qur'an adalah makhluk.
  5. Mengingkari dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits yang menegaskan bahwa wajah Allah dapat dilihat oleh kaum Mukminin di surga nanti.
  6. Memojokkan para Sahabat Radhiyallah 'Anhum atas perkara konflik yang pernah terjadi diantara mereka. Juga mencela hasil-hasil ijtihad para Sahabat yang tidak sesuai dengan selera akal mereka.
  7. DLL


Meskipun penuh dengan keyakinan dan pendapat kufur, tetapi mayoritas ulama tidak mengkafirkan mereka. Alasannya, mereka sebenarnya memiliki ghirah yang besar terhadap agamanya, mereka punya semangat untuk mencari kebenaran. Pada dasarnya mereka tidak bermaksud menentang ajaran Islam. Akan tetapi mereka salah metodologi dalam memahami agama, yaitu mendahulukan akal versi mereka di atas segala-galanya. Para ulama banyak yang memberi uzur pada orang-orang Mu'tazilah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Adapun orang yang berpendapat dengan sebagian pendapat Jahmiyah seperti Mu’tazilah dan lainnya yang menampakkan sikap beragama yang baik dalam batin mereka maka mereka itu tidak diragukan lagi termasuk umat Muhammad.”

[Liberal, Mu'tazilah masa kini kah?]

Jika orang-orang Mu'tazilah klasik dianggap memiliki kecintaan yang baik terhadap agamanya meski akhirnya terperosok karena memahami sesuai akal mereka, maka tak diragukan lagi bahwa kaum Liberal tidak pernah sedikitpun menampakkan sikap seperti demikian. Kaum Liberal masa kini tidak lain tidak bukan adalah kepanjangan tangan dari orang kafir untuk menggerogoti ajaran Islam.

Mereka tidak pernah menunjukkan semangat dalam membela Islam atau kaum muslimin, tak pernah pula mereka mendasarkan tujuan objektif mencari kebenaran. Sebab orang-orang Liberal ini justru menyatakan kebenaran itu tidaklah ada, tujuan pemikiran mereka adalah untuk menyenangkan hati orang-orang kafir. Lihatlah bagaimana mereka "beragama" karena mengikuti selera orang kafir, sesuai kiblat mereka.

Jika kaum Mu'tazilah masa lalu adalah orang-orang yang salah jalan dalam beragama, maka kaum Liberal masa kini adalah orang-orang yang menghancurkan agama Islam itu sendiri.




Periodisasi Ulama', Da'i, dan Tokoh Islam

Sesungguhnya pada seorang ulama' itu ada ilmu, maka kenalilah mereka

Sesungguhnya pada seorang da'i itu terdapat cahaya kebaikan, maka dengarkanlah mereka

Da'i dan ulama' silih berganti lahir dan wafat, mengikuti kehendak dan takdir dari Sang Maha Pencipta Allah swt. Mereka lahir untuk mengajarkan ilmu, menyebarkan kebaikan, menolak kemungkaran dan menegakkan panji-panji kalimat Allah di muka bumi ini. Maka jika seseorang menginginkan jalan yang selamat di dunia dan di akhirat, ikutilah da'i dan ulama dari kalangan muhsinin.

Mari kita kenali lebih dalam tentang mereka dengan minimal tahu zaman hidup mereka. Dengan demikian kita dapat mengetahui ulama' siapa yang masih sezaman dengan siapa, ulama' siapa gurunya siapa, pemikiran dan fatwa-fatwanya dipengaruhi oleh siapa, dll.

nb : untuk sementara periodisasi ditulis dalam tahun masehi, ke depan penulis akan melengkapi dengan standar tahun hijriyah. harap maklum.

1. Generasi Tabi'in (Generasi Ke-3)

. Hasan Al Basri (642 - 728) / (21 - 110 H)
. Muhammad bin Sirin (653 - 728) / (33 - 110 H)
. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (682 - 720) / (63 - 101 H)

2. Generasi Tabi'ut Tabi'in (Generasi Ke-4)

. Imam Abu Hanifah (702 - 772) / (80 - 150 H)
. Imam Malik (711 - 795) / (93 - 179 H)
. Sofyan Ats-Tsauri (716-778) / (97 - 191 H)
. Khalifah Harun Al Rasyid (763 - 809) / (145 - 193 H)

3. Generasi Atba' Tabi'it Tabi'in (Setelah para tabi'ut tabi'in)

. Imam Asy Syafi'i (767 - 820) / (150 - 204 H)

4. Generasi Murid-Murid Atba' Tabi'it Tabi'in

. Imam Ahmad bin Hambal (780 - 855) / (164 - 241 H)
. Syaikh Yahya bin Ma'in (158 - 233 H)

5. Generasi Ke-7 (Murid-Murid dari Generasi Ke-6)

. Imam Bukhori (810 - 870) / (194 - 256 H)
. Imam Muslim (815 - 875) / (202 - 261 H)
. Imam Ibnu Majah (207 - 275 H)
. Imam Abu Mansur Al Maturidi (853 - 944)
. Imam Abul Hasan Al Asy'ari (873 - 935) / (260 - 324)
. Imam Abu Dawud (817 - 889)
. Imam At Tirmidzi (824 - 892)
. Imam An Nasa'i (829 - 915) / (214 - 303 H)

6. Generasi Ke-8 

. Ibnu Khuzaimah (838 - 924) / (223 - 311 H)
. Imam Ath Tabarany (260 - 360 H)
. Ibnu Hibban (270 - 354 H)
. Imam Al Baihaqi (994 - 1066) / (384 - 458 H)
. Al Khathib Al Baghdadi (1002 - 1071) / (392 - 463 H)
. Imam Al Ghazali (1058 - 1111) / (450 - 505 H)
. Syaikh Abdul Qadir Jailani (1077 - 1166) / ( 471 - 561 H)
. Shalahuddin Al-Ayyubi (1138 -  1193) / (532 - 589 H)
. Imam Al Qurtubi (1214 - 1273)
. Ibnu Qudamah Al Maqdisi (541 - 629 H)

7. Generasi Ke-9 (Murid-Murid dari Generasi ke-8)

. Imam Nawawi (1233 - 1277) / (631 - 676 H)
. Ibnu Taimiyyah (1263 - 1328) / (661 - 728 H)
. Imam Adz Dzahabi (673 - 784 H)
. Ibnul Qayyim Al Jauzy (1292 - 1349) / (691 - 751 H)
. Ibnu Katsir (1301 - 1372) / (701 - 774 H)
. Imam Asy Syathibi (730 - 790 H)
. Ibnu Rajab Al Hambali / (736 - 795 H)
. Imam Ibnu Hajar Asqolani  (1372 - 1449) / (773 - 852 H)
. Sultan Muhammad Al Fatih (1432 - 1481) / (835 - 886 H)
. Imam Asy Suyuti (1445 - 1505) / (849 - 911 H)

 8. Generasi Mutaakhirin (Generasi Akhir)

. Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 - 1792) / (1115 - 1206 H)
. K.H Ahmad Dahlan (1868 - 1923) / (1284 - 1341 H)
. K.H Hasyim Asy'ari (1875 - 1947) / (1292 - 1366 H)
. Sayyid Qutb (1906 - 1966) / (1324 - 1385 H)
. Hasan Al Banna (1906 - 1949) / (1324 - 1368 H)
. Muhammad Natsir (1908 - 1993) / (1326 - 1413 H)
. Buya Hamka (1908 - 1981) / (1326 - 1401 H)
. Syaikh Abdullah bin Baz (1910 - 1999) / (1328 - 1419 H)
. Syaikh Nashirudin Al Albani (1914 - 1999) / (1332 - 1419 H)
. Syaikh Sayyid Sabiq (1915 - 2000) / (1333 - 1420 H)
. Ahmed Deedat (1918 - 2005) / (1336 - 1426 H)
. Syaikh Mustafa Masyhur (1921 - 1996) / (1339 - 1416 H)
. Dr. Yusuf Al Qaradawi (1926) / (1344 H)
. Syaikh bin Shalih Al Utsaimin (1928 - 2001) / (1346 - 1421 H)
. Fathi Yakan (1933 - 2009) / (1351 - 1430 H)
. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (1933) / (1351)
. Sa'id Hawwa (1935 - 1989) / (1353 - 1409 H)
. Syaikh Ahmad Yasin (1937 - 2004) / (1355 - 1425 H)
. Syaikh Dr. Abdullah Azzam (1941 - 1989) / (1360 - 1409 H)
. Dr. Muhammad Mursi (1951) / (1370 H)
. Recep Thayyib Erdogan (1954) / (1373 H)
. Syaikh Usamah bin Laden (1957 - 2011) / (1376 - 1432 H)
. Syaikh Muhammad Mullah Omar (1950) / (1369 H)
. Syaikh Ayman Az Zawahiri (1951) / (1370 H)
. Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi (1959) / (1378 H)
. Dr. Aaidh Al Qarni (1960) / (1379 H)
. Abdullah Gymnastiar (1962) / (1381 H)
. Dr. Zakir Naik (1965) / (1384 H)
. Syaikh Muhammad Al Arifi (1970) / (1389 H)



Berfikir Global, Bertindak Lokal (Download E-book Fiqhul Waqi')

Seorang muslim haruslah bisa berfikir global
Artinya dia memahami permasalahan yang sedang menjangkiti ummat
Karena memang Islam itu global dan syumul

Akan tetapi dalam tataran aksi kita harus berfikir lokal
Karena memang tenaga dan ikhtiar kita terbatas
Karena tidak sama antara kondisi satu tempat dengan tempat lainnya

Boleh jadi prinsip yang kita pegang teguh itu kurang bisa diterapkan di tempat kita berada
Maka, 
Menghargai fatwa dan ijtihad adalah sungguh sikap yang bijak

Janganlah sampai pintar dalam dalil tapi jahil dalam memahami Waqi, 
Itu hanya akan merusak indahnya Islam

Sungguh hanya orang-orang besar yang mampu berpikir dewasa

#Selamat Berjuang





23 Jan 2015

Allah Memberikan Kekayaan dan ......


Beberapa waktu lalu penulis mendapat broadcast via whatsapp yang cukup menarik. Ada baiknya kita simak untuk dijadikan hikmah. Berikut kami teks yang kami dapatkan.

Isi titik-titik di bawah ini (mohon dijawab dengan jujur di dalam hati kita masing-masing)



1. Allah menciptakan TERTAWA dan ...

2. Allah itu MEMATIKAN dan ...

3. Allah menciptakan LAKI-LAKI dan ...

4. Allah memberikan KEKAYAAN dan ......



Mayoritas kita akan menjawab:



1. MENANGIS

2. MENGHIDUPKAN

3. PEREMPUAN

4. KEMISKINAN



Benar tidak ???



Untuk mengetahui apakah jawaban di atas itu benar atau tidak, mari kita cocokkan jawaban tersebut dengan rangkaian firman Allah SWT dalam surat An-Najm (53), ayat: 43-45, dan 48, sebagai berikut:


"dan Dia-lah yang menjadikan orang TERTAWA dan MENANGIS." (QS. 53:43).


"dan Dia-lah yang MEMATIKAN dan MENGHIDUPKAN." (QS. 53:44).


"dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan LAKI-LAKI dan PEREMPUAN. " (QS. 53:45).

"dan Dia-lah yang memberikan KEKAYAAN dan KECUKUPAN." (QS. 53:48).


Ternyata jawaban kita umumnya BENAR hanya pada no. 1-3.


Tapi,


Jawaban kita untuk no. 4 umumnya KELIRU.



Jawaban Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an bukan KEMISKINAN, tapi KECUKUPAN.


Subhanallah..


Sesungguhnya Allah Ta'ala hanya memberi KEKAYAAN dan KECUKUPAN kepada hamba-Nya.


Dan ternyata yang "menciptakan" KEMISKINAN adalah diri kita sendiri. Hal ini bisa karena ketidakadilan ekonomi, kemalasan, bisa juga karena kemiskinan itu kita bentuk di dalam pola pikir kita sendiri. Itulah hakikatnya, mengapa orang-orang yg senantiasa bersyukur; walaupun hidup pas-pasan ia akan tetap tersenyum dan merasa cukup, bukan merasa miskin. 


Jadi, marilah kita bangun rasa keberlimpahan dan kecukupan didalam hati dan pikiran kita, agar kita menjadi hamba-Nya yg selalu BERSYUKUR*


semoga bermanfaat


Mengkompromikan Antara Dua Fatwa yang Berbeda

Diantara sebab lahirnya kesalahpahaman dalam agama adalah menyebarkan fatwa atau hadits tertentu tanpa disertai penjelasan dan keterangan. 
 
Seperti fatwa yang baru-baru ini disebarkan oleh sebuah akun fanpage dan group WA yang mengesankan, bahwa dalam meyakini person tertentu telah kafir harus dikembalikan kepada Mahkamah Syar’iyah. Padahal yang dimaukan oleh fatwa tersebut tidak seperti yang disalahpahami oleh orang yang salah dalam memahaminya. Maka memahami maksud ucapan alim dengan mengkompromikan ucapannya disatu tempat dengan ucapannya ditempat yang lain adalah merupakan kunci selamat dari ketergelinciran ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam Al Jawab Ash-Shahih (2/287-288) mengatakan:

(Sesungguhnya wajib menafsirkan ucapan pembicara dengan ucapannya yang lain. Dan mengumpulkan ucapannya dari sini dan dari sana. Dan mengenali kebiasaannya yang ia mau dengan lafal itu saat dia berbicara sehingga diketahuilah makna-makna sudah biasa ia maukan bahwa ia memaksudkan itu pada ucapannya yang lain. Apabila telah diketahui kebiasaannya, urf nya pada makna-makna dan lafal-lafal maka ini diantara hal yang membantu dalam mengetahui maksud siempunya ucapan.

Adapun jika lafalnya dibawa kepada makna yang bukan itu kebiasaan dia saat menggunakannya, kemudian mengabaikan makna yang biasa dia maukan saat menggunakan lafal itu dan membawa ucapannya kepada makna yang berbeda dengan makna yang biasa dia maukan dengan lafal itu, menjadikan ucapannya saling bertabrakan dan meninggalkan ucapannya yang sesuai dengan semua ucapannya, maka ini merupakan penyimpangan / tahrif terhadap ucapannya dari tempat yang seharusnya dan merubah maksud-maksudnya serta berdusta atasnamanya. Dan ini adalah sebab asasi yang melandasi tersesatnya orang-orang dalam mentakwil ucapan para nabi keluar dari tempatnya)

Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan berkata: 

إذا كان ولابد من نقل كلام أهل العلم أن يستوفي النقل من أوله إلى آخره ويجمع كلام العالم في المسألة من مختلف كتبه حتى يتضح مقصوده
ويرد بعض كلامه إلى بعض ولا يكتفي بنقل طرف ويترك الطرف الآخر لأن هذا يسبب سوء الفهم وأن ينسب إلى العالم مالم يقصده

(Apabila harus menukil ucapan ulama (hendaknya seseorang) meluas dalam penukilan dari awal sampai akhirnya dan mengumpulkan ucapan seorang alim dalam masalah tertentu dari kitab-kitabnya yang berbeda sehingga jelaslah maksud alim itu. Dan mengembalikan sebagian ucapannya kepada sebagian lainnya. Dan jangan merasa cukup dengan menukil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Karena hal ini berakibat salahpaham dan berakibat menisbatkan kepada si alim itu apa-apa yang bukan dia maksudkan)

Berikut ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan yang kami maksud dan disebarkan oleh pihak-pihak diatas tanpa diikuti dengan sedikit pun penjelasan. Padahal ketika disandingkan dengan fatwa lainnya, tampaklah bahwa maksud fatwa tersebut sama sekali bukan seperti pemahaman salah yang bisa berkembang.

Fatwa ini mereka beri judul dengan: Jangan Mudah Memvonis Kafir Seseorang.  

سائل يسأل: يقول: فضيلة الشيخ سؤالي هو: هل يجوز لطالب العلم الذي تمكَّن من مسائل التكفير أن يكفر شخصا بعينه دون الرجوع إلى العلماء اعتمادًا على ما عنده من العلم في مسائل التكفير؟

TANYA:
Wahai Syaikh yang mulia, pertanyaanku adalah, bolehkah seorang penuntut ilmu yang telah mapan (kuat, mendalam) ilmunya dalam masalah takfir (pengkafiran) untuk mengkafirkan seseorang secara mu’ayyan (memvonis individu tertentu) tanpa merujuk kepada para ulama karena berpegang dengan ilmu yang ia miliki dalam masalah takfir?

الجواب: مسائل التكفير أمرها خطير، مزلة أقدام ومضلة أفهام، يُرجَع فيها إلى أهل العلم ولا يُحكَم على أحد بالكفر إلا إذا قُدِّم للمحكمة الشرعية ونظرت فيما يقتضي كفره من القول والعمل فَيُكَفَّر، أما أن كل واحد ويكفر؟! فهذا الأمر لا يجوز، نعم. لكن على سبيل العموم تقول من فعل كذا أو قال كذا أو اعتقد كذا فهو كافر، أما التعيين والأشخاص فلا بد أن يُرجَع أمرهم إلى المحاكم الشرعية مع الإثبات عليهم، نعم

JAWABAN:
Masalah takfir (pengkafiran) perkaranya sangat berbahaya, banyak kaki tergelincir dan pemahaman tersesat dalam masalah ini, hendaklah merujuk kepada para ulama, dan tidak boleh menghukumi seseorang dengan kekafiran kecuali apabila telah disidangkan di pengadilan syari’at dan telah diteliti dalam pengadilan tersebut apa yang mengharuskan kekafirannya, baik ucapan maupun perbuatan, baru kemudian dikafirkan. Adapun setiap orang mengkafirkan, maka perkara ini tidak boleh, na’am.

Akan tetapi dalam bentuk umum (takfir secara muthlaq, tanpa memvonis person tertentu) boleh engkau mengatakan, “Siapa yang melakukan ini, atau mengatakan ini, atau meyakini ini, maka ia kafir.”


Adapun ta’yin (takfir secara mu’ayyan) dan vonis terhadap individu-individu, maka harus dikembalikan perkaranya ke pengadilan-pengadilan syari’ah yang disertai dengan penetapan atas mereka, na’am. -Selesai

Inilah redaksi fatwa yang beredar. Maksud fatwa ini (menurut saya) adalah tidak boleh seseorang mengkafirkan siapa pun yang jatuh kepada kekafiran tanpa merujuk kepada pengadilan syari’at, yaitu terkait dengan penegakan hukum atasnya. Seperti memintanya bertaubat, jika dia tidak bertaubat maka dibunuh. Ini wewenang pemerintah. Atau seperti hartanya tidak diwarisi dan dia tidak menerima warisan. Atau jika dia memiliki suami atau istri maka harus dipisah karena dia telah murtad. Ini semua babnya adalah penegakan hukum / tathbiiq al hukm bukan wewenang semua orang. 

Dalil akan hal ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Fauzan dikesempatan lainnya, bahwa maksud fatwa diatas adalah terkait penegakan hukum, bukan tentang meyakini kafirnya pelaku syirik besar yang jelas ia lihat atau dengar tanpa terdapat sedikitpun kesamaran!!

السؤال
أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة، هذا سائلٌ يقول: هل التكفيرُ حكمٌ لكل أحد من صغار طلاب العلم أم أنه خاص بأهل العلم الكبار والقضاة؟

Tanya:
Semoga Allah berbuat baik kepadamu wahai Fadhilatus-Syaikh. Berikut ini seorang penanya berkata: Apakah takfir merupakan hukum bagi setiap orang dari penuntut ilmu pemula atau perkara ini khusus perannya ulama besar dan qadhi?

الجواب
مَن يظهر منه الشرك: يذبح لغير الله، أو ينذر لغير الله .. يظهر ظهورًا واضحًا: يذبح لغير الله، ينذر لغير الله، يستغيث بغير الله من الأموات، يدعو الأموات.. هذا شركه ظاهر؛ فمَن سمعه يحكم بكفره وشركه، أما الأمور الخفية التي تحتاج إلى علم، وإلى بصيرة.. هذه تُوكَل إلى أهل العلم، نعم

Jawab:
Barangsiapa yang tampak darinya kesyirikan: menyembelih untuk selain Allah atau bernadzar untuk selain Allah, tampak dengan penampakan yang jelas: menyembelih untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, minta keselamatan kepada selain Allah dari orang-orang mati, menyeru orang-orang mati. Ini kesyirikannya jelas. Barangsiapa yang mendengarnya menghukumi kafir dan musyrik kepada pelakunya. Adapun perkara-perkara yang khafiyah / samar yang butuh kepada ilmu dan bashirah, ini dikembalikan kepada ulama. Na’am.

Dengan ini jelaslah bahwa ucapan Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan adalah satu, dan bahwasanya fatwa beliau disatu tempat tidak bertabrakan sama sekali dengan fatwa beliau ditempat lainnya. Dan metode ini tentunya lebih selamat dan lebih menunjukkan adab penuntut ilmu kepada ulamanya.

Kemudian perlu dipahami bahwa bukan maksud Asy-Syaikh Shalih dengan “menghukumi kafir dan musyrik kepada pelakunya” seseorang mengucapkannya. Karena yang wajib bagi seseorang adalah berdakwah dengan mengingkarinya dan menasihatinya. Adapun mengucapkan “kafir” atau “musyrik” hal ini hanya menjauhkan orang dari agama dan membuatnya lari.

Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan ditanya:
السؤال
 هل تكفير من يقوم بالشرك الأكبر ومن يسب الله خاص بالعلماء؟
Tanya:
Apakah mengkafirkan orang yang melakukan syirik besar dan orang yang mencaci Allah adalah khusus perannya ulama? 
الجواب
لا، إذا سمعته هذا منكر، تنكر عليه تقول ما يجوز هذا، حرام عليك هذا الكلام، تنصحه بما تعرف، أما تطبيق الحكم عليه هذا من جهة العلماء

Jawab:
Jangan, apabila kamu dengar kemungkaran ini, kamu ingkari dia. Kamu katakan (padanya) ini tidak boleh. Haram atasmu ucapan ini. Kamu nasihati dia dengan apa yang kamu tahu. Adapun penegakan hukum atas orang ini, perkara ini perannya ulama (qadhi) 
Wallahua’lam bis shawaab

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India