9 Feb 2015

Aqidah Ahlussunnah Mengakui Peran Akal

Aqidah Ahlussunnah wal Jamaa’ah mengakui peran akal, akan tetapi membatasi wilayah kerjanya sehingga tidak melampaui batas dalam memfungsikannya dan tidak meremehkan perannya dalam kehidupan.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd dalam kitabnya "Aqiidah Ahlissunnah wal Jamaa’ah" hal. 39 menjelaskan, bahwa Aqidah Islamiyyah senantiasa memuliakan akal yang benar, serta mengagungkannya dan mengangkat kedudukannya. Demikian pula aqidah Islamiyyah tidaklah mengkarantina akal dan tidak pula mengingkari kecemerlangannya.
 
Islam tidak ridha terhadap seorang muslim yang melenyapkan cahaya akalnya, kemudian lebih condong kepada taqlid buta dalam memahami persoalan di seputar keyakinan (i’tiqaad) maupun yang selainnya (Ta’liqaat Samaahatus Syaikh Abdul ‘Aziiz bin Baaz). Bahkan seorang muslim dituntut untuk berpikir dengan manhaj yang benar tentang kebesaran langit maupun bumi, tentang keadaan dirinya, dan tentang ayat-ayat Allah yang ada di sekitar dia. Dengan begitu ia mampu menjangkau segala rahasia dibalik penciptaan alam ini, serta mengenal hakikat kehidupan di dunia ini. Maka melalui perantara berpikir seperti itulah akan mengantarkan seseorang kepada banyak perkara i’tiqaad yang sesuai dengan batas kemampuan akalnya.

Islam sangat mencela orang-orang yang mengkebiri peran akalnya atau sekedar mengikuti rujukan-rujukan yang dikarang oleh nenek moyang mereka tanpa mengoptimalkan potensi akalnya. Serta mengambil pelajaran darinya dan kosong dari bimbingan ilmu.

Kendati demikian, Islam tetap memberikan batasan-batasan wilayah kerja akal sehingga dapat berfungsi lebih proporsional. Pembatasan ini semata-mata untuk melindungi kemampuan akal, sehingga akal tidak terpecah konsentrasinya dan tidak tercerai-berai dalam memahami segala perkara ghaib. Karena sesungguhnya akal tidak mampu menjangkaunya serta menyibak hakikatnya dibalik itu semua. Perkara ghaib yang dimaksud seperti Dzat Allah, eksistensi ruh, surga, neraka dan lainnya. Demikian ini oleh karena akal manusia memiliki wilayah kerjanya sendiri dan bukan bidang garapannya. Maka apabila ia tidak berupaya menempuh bidang yang sebenarnya telah disediakan bagi akal itu, sungguh ia akan sesat dan meraba-raba dalam memahami perkara yang tersembunyi yang sesungguhnya mustahil untuk dicapainya.

Maka wilayah kerja akal itu ialah semua yang bisa disaksikan serta dirasakan keberadaannya. Adapun perkara ghaib yang sesungguhnya tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, maka tidak ada peluang bagi akal untuk menelitinya. Dan hendaknya akal itu jangan keluar dari apa yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. 

(Al-Aqiidah Al-Islamiyyah bainal ‘Aql wal ‘Aathifah - DR. Ahmad As-Syariif hal. 4/73-79)


0 komentar:

Posting Komentar

Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India