31 Jul 2016

Catatan Perjalanan : Hualien, Taroko National Park

Orang ketika melihat lukisan pemandangan gunung yang bagus, indah, nampak mirip seperti aslinya, seketika kemudian pasti ia memuji sang pelukisnya.
Orang ketika melihat foto bukit, pepohonan dan panorama alam yang indah, seketika kemudian pasti ia memuji sang fotografernya.
Lantas, mengapa orang ketika melihat pegunungan, bukit dan pepohonan yang asli, langsung dengan mata kepala sendiri, terkadang masih lupa untuk memuji Allah SWT Tuhan yang Maha Pencipta?
Alhamdulillah, bersama para sahabat, masih diberi kesempatan untuk bertafakur alam mengagumi ciptaan Allah yang luar biasa. Semoga menjadikan diri semakin bersyukur.
Hualien, 26 Syawal 1437 H




24 Jul 2016

Catatan Wisuda



Alhamdulillah, segala kehormatan, kecerdasan dan kemuliaan hanya untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam. Setelah hampir kurang lebih 2 tahun bergulat dengan studi dan penelitian, akhirnya kemarin resmi sudah melepas status sebagai mahasiswa untuk yang kedua kalinya.

Sungguh tak pernah membayangkan bisa sampai ke jenjang pendidikan ini, dan semuanya selesai dengan beasiswa. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan? Dan yakinlah, saat segala urusanmu merasa selalu dimudahkan, ketahuilah bahwa saat itulah doa kedua orang tuamu sedang dikabulkan.
 

Kepada seluruh guru, pembimbing, sahabat dan rekan-rekan, kami ucapkan terima kasih atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Semoga kita semua tetap bisa istiqomah dalam menuntut ilmu dan pengetahuan. Never stop learning, because life never stop teaching.
 

Jika telah selesai dari satu urusan, maka segera kerjakanlah urusan yang lain."
 

Taipei, 19 Syawal 1437 H

20 Jul 2016

Qunut dalam 4 Mazhab

Qunut dalam 4 mazhab :

1. Madzhab Hanafi

Menurut ulama mazhab hanafi, qunut pada shalat subuh sudah dinasakh/dihapus (beberapa ulama dari madzhab hanafi mengatakan qunut subuh bid’ah)

Badruddin Al ‘Aini ( w 855 H) dari madzhab hanafi dalam kitab al binayah syarah al hidayah mengatakan:

قد ذكرنا النسخ ووجهه وكل من روى القنوت، وروى تركه ثبت عنده نسخه؛ لأن فعله للمتأخر ينسخ المتقدم

"Sudah kami sebutkan sisi dinasakhnya qunut, dan semua rawi yang meriwayatkan qunut dan meriwayatkan tidak qunut sudah menetepkan bahwa qunut sudah dinasakh, karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terakhir menasakh yang terdahulu." (Badruddin Al ‘Aini, Al Binayah Syarah Al Hidayah)

2. Madzhab Maliki

'Ulama mazhab maliki berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh masih disyariatkan dan hukumnya adalah sunnah, qunut dalam madzhab ini bisa dilakukan sebelum ruku’ pada raka’at kedua shalat subuh atau sesudah ruku’.

Ibnu Abdi Al-Barr dari madzhab maliki di dalam kitab Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah mengatakan:
ويقنت في صلاة الصبح الإمام والمأموم والمنفرد إن شاء قبل الركوع وإن شاء بعده كل ذلك واسع والأشهر عن مالك القنوت قبل 
الركوع
"Dan dianjurkan bagi imam, makmum atau orang yang shalat sendirian untuk melakukan qunut dalam shalat subuh, jika ia mau, sebelum ruku’ atau setelah ruku’, semua itu ada keluasan, dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik adalah sebelum ruku’."

3. Madzhab Syafi'i

Qunut pada shalat subuh menurut madzhab ini hukumnya mustahab/sunnah, qunut menurut ulama syafi'iyah dilakukan setelah ruku’ pada raka’at kedua shalat subuh dan jika seseorang lupa melakukan qunut dan langsung sujud maka dianjurkan untuk sujud syahwi.

Imam An Nawawi (w 676 H) di dalam kitabnya Al Majmu’ menyebutkan:

القنوت في الصبح بعد رفع الرأس من ركوع الركعة الثانية سنة عندنا بلا خلاف وأما ما نقل عن أبي علي بن أبي هريرة رضى الله 
عنه أنه لا يقنت في الصبح لأنه صار شعار طائفة مبتدعة فهو غلط لا يعد من مذهبنا

"Qunut pada shalat subuh setelah mengangkat kepala dari ruku’ pada raka’at kedua sunnah dalam madzhab kami tanpa ada perbedaan, adapun yang dinukil dari Abu Ali bin Abu Hurairah radiallahu ‘anu bahwa tidak qunut pada shalat subuh, karena hal itu sudah menjadi syi’ar kelompok ahli bid’ah maka itu salah dan tidak termasuk madzhab kami."

4. Madzhab Hanbali

Menurut ulama mazhab hanbali qunut pada shalat subuh tidak disunnahkan, begitu juga pada shalat fardhu yang lain, dan qunut hanya dianjurkan pada shalat witir.

Imam Ibnu Qudamah (w 620 H) dari madzhab hanbali didalam kitabnya al mughni menyebutkan:

ولا يسن القنوت في الصبح، ولا غيرها من الصلوات، سوى الوتر

"Dan tidak disunnahkan qunut pada sholat subuh, dan tidak juga pada shalat fardhu yang lainnya, kecuali shalat witir."

Ditulis ulang dari ustadz Muhammad Amrozi aja..

Wallahu a'lam.

(Faidah dari Ustadz Muhamad Amrozi dalam kampussyariah.com )

18 Jul 2016

"Apakah buhul pemberian dari kyai itu termasuk juga dalam perbuatan syirik?"



"Apakah buhul pemberian dari kyai itu termasuk juga dalam perbuatan syirik?"

Jawabannya iya [1]. Dan bisa dipastikan itu bukan kyai, tapi dukun yang berkedok kyai. Kyai ahlussunnah wal jama'ah tidak mungkin memberikan rajah, buhul atau jimat yang sejenisnya untuk menjamin keselamatan seseorang. Bagi seorang mukmin minta keselamatan itu caranya mudah dan murah, angkat tangan ucapkan sholawat dan tahmid, lalu berdoa, setelah selesai ucapkan aamiin [2]. Selesai. Mudah. Murah. Tidak perlu bawa jimat ke sana kemari. Tidak perlu beli jimat yang harganya sampai puluhan juta [3].

Memang tidak dipungkiri bahwa masih cukup banyak di antara masyarakat kita yang terjerumus dalam praktik syirik akbar namun karena kurangnya ilmu sehingga mereka tidak menyadarinya. Tidak heran, sebab biasanya para dukun itu memang lihai, acapkali mereka memakai identitas kyai, berbaju jubah dan sorban, berpenampilan meyakinkan untuk mengelabui pasiennya.

Ini contoh jimat, jimat keselamatan dari kyai katanya, rajah bertuliskan arab yang tidak jelas apa maknanya, dimasukkan ke dalam minyak kayu putih. Konon, kalau ada masalah, cukup oleskan minyak kayu putih yang sudah dicelupi rajah itu sambil baca bismillah tanpa nafas. Kalau masalah masih banyak, sementara minyaknya sudah habis maka bisa re-fill / isi ulang (memangnya air galon bisa diisi ulang?) Kalau isi ulang lagi tentu harus bayar lagi ke dukunnya. Dari sinilah si dukun cari duit.

Jangan mudah tertipu dengan dukun berkedok kyai gadungan. Ust. Arifin Ilham pernah berpesan dalam ceramahnya [4] bahwa ciri utama dukun berjubah kyai diantaranya ialah mereka selalu memberikan azimat atau amalan-amalan yang tidak syar'i. Selain itu mereka juga memasang tarif, biasanya menggunakan bahasa 'mahar', 'infak', disertai ancaman kalau tidak segera diobati maka pasien akan mati, kalau uang tidak segera ditransfer, doanya tidak akan sampai, penyakit tidak sembuh, dan sebagainya. Dan terakhir, kyai palsu itu biasanya menggunakan nama-nama kedigjayaan semacam Ki Gendeng Pamungkas, Ki Joko Pinter, Ki Segoro Langit, Kyai Rebo, dsb.

Tak ada kata terlambat untuk berbenah diri. Mari bersihkan akidah kita dari segala penyakit kesyirikan. Jangan takut sial, jangan takut celaka. Insya Allah dengan tauhid yang bersih, ibadah kita akan lebih khusyuk, hidup kita akan lebih tenang dan terjaga.

Referensi :
[1] Intisari Q.S Az Zumar:38, HR. Ahmad 4: 445
[2] Adab berdoa, H.R Tirmidzi 3476, H.R Abu Dawud 1481
[3] http://www.keongbuntet.com/?galeri-mustika-keong-buntet, http://www.pusatbendabertuah.com/, http://www.pusakamajapahit.com/all-product/, http://www.mistikjawa.com/?57%2Ckijing-rajah-kalija, http://www.jualmustika.com/katalog/ (BUKAN UNTUK DIBELI, tapi untuk DIWASPADAI, jika punya barang serupa, jangan ragu untuk dimusnahkan)
[4] Ilham, Arifin; 9 Ciri Dukun Berbaju Ulama; (2014) sumber: http://www.fimadani.com/9-ciri-dukun-berbaju-ulama-menurut…/

2 Jul 2016

Wanita Hamil dan Menyusui Qadha Puasa atau Bayar Fidyah?

Merespon beberapa pertanyaan yang masuk ke inbox saya di facebook, maka saya berusaha menjawab singkat masalah ini dengan memaparkan pendapat para ulama dan mana yang saya pilih dengan alasan tarjih tentunya.

Wanita hamil belum tentu menyusui, misalnya setelah dia hamil anaknya meninggal dunia. Maka hanya berlaku masalah kehamilan pada dirinya. Menyusui tak berarti baru saja melahirkan, karena ada saja wanita yang air susunya banyak dan bayinya sudah besar, tapi dia menyusui bayi orang lain. Yang seperti ini juga masuk dalam cakupan bahasan di atas.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, secara garis besar ada empat pandangan:
  1. Keduanya harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. (Lihat: Al-Hidayah syarh Al-Bidayah, juz 1 hal. 128, Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal. 506). 
  2. Keduanya harus membayar fidyah dan tak perlu mengganti puasa. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Sa’id bin Jubair, Qatadah 
  3. Bila dia hanya khawatir akan dirinya saja maka dia harus mengqadha, tapi bila mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya kalau berpuasa maka dia harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali. 
  4. Wanita hamil hanya boleh mengqadha dan tidak membayar fidyah, sedangkan wanita menyusui yang khawatir akan anaknya harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Maliki.
Dalil-dalil:
 
Dalil pendapat pertama:

Dalil pendapat pertama adalah meng-qiyas-kan wanita hamil dan atau menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain sebagaimana jelas dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 184 dan 185.

Dalil pendapat kedua:


Dalil pendapat kedua adalah fatwa dua orang sahabat Nabi SAW, terutama bagi madzhab yang menganggap bahwa fatwa sahabat itu menjadi salah satu dasar hukum bila tidak ada nash yang sharih. Riwayat Ibnu Abbas bisa ditemukan dalam Sunan Ad-Daraquthni, Tafsir Ath-Thabari dan lain-lain. Ibnu Abbas berkata, ”Bila seorang wanita hamil khawatir akan dirinya dan wanita menyusui khawatir akan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka boleh tidak puasa dan harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta TIDAK PERLU MENGQADHA.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 3 hal. 427, nomor riwayat: 2758. Al-Albani mengomentari riwayat ini dalam Irwa` Al-Ghalil, juz 4 hal. 19, “Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim”).

Riwayat lain dari Ibnu Abbas adalah ketika dia melihat Ummu Walad (budak yang sudah melahirkan anak darinya) yang sedang hamil, maka dia berkata, ”Kamu ini sama dengan orang yang sukar melaksanakan puasa, maka kamu boleh berbuka dan harus memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang kamu tinggalkan serta TIDAK ADA KEWAJIBAN MENGQADHA (PUASA) atas dirimu.” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2759).

Adapun riwayat Ibnu Umar dapat diperoleh dari Mushannaf Abdurrazzaq (juz 4, hal. 218) yang berkata, ”Dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, wanita hamil yang khawatir akan dirinya di bulan Ramadhan boleh berbuka tapi harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha.”
Dan banyak lagi riwayat dari kedua sahabat Nabi yang mulia ini dan shahih sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil juz 4, hal. 19-20.

Dalil pendapat ketiga:

Madzhab Syafi’i dan Hanbali sebenarnya sama dengan madzhab Hanafi yang meng-qiyas-kan wanita hamil atau menyusui dengan orang sakit sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini adalah janin atau bayi yang disusui yang kalau mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain yaitu harus membayar fidyah lantaran batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain.

Setelah membaca dari beberapa literatur madzhab ini terutama kitab Al-Mughni maka sebenarnya mereka menggabung qiyas antara wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit sehingga wajib qadha dan meng-qiyas-kan pula keduanya dengan orang tua yang tak sanggup puasa sehingga wajib membayar fidyah. Dalam ushul fikih qiyas semacam ini biasanya dinamakan qiyas syabh.

Dalil pendapat keempat:

Pendapat yang membedakan antara wanita hamil dan menyusui beralasan bahwa wanita hamil di-qiyas-kan murni (qiyas taam) kepada orang sakit, sedangkan menyusui alasannya sama dengan alasan madzhab Syafi’i dan Hanbali.

Tarjih:

Berhubung tidak ada nash sharih (yang jelas) dalam masalah ini maka membuka peluang untuk berbeda pendapat. Secara analogi mungkin pendapat Hanafi lebih kuat, karena memang banyak kemiripan antara hamil dan menyusui dengan orang sakit dengan harapan sembuh dibanding dengan orang tua yang tak mampu puasa atau orang sakit yang tak ada harapan sembuh.

Sedangkan madzhab ketiga rasanya dalilnya agak dipaksakan dan membingungkan. Tapi bagi yang menganggap bahwa mengikuti fatwa sahabat Nabi SAW lebih utama daripada qiyas - dan ini sebenarnya adalah pendapat madzhab Hanbali dalam ushul fikih tapi anehnya dalam masalah ini mereka tidak mengamalkannya – maka lebih baik mengikuti fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Sebab, meski tidak ma’shum tapi mereka belajar langsung kepada Rasulullah SAW dan lebih mengerti sunnah dibanding para imam madzhab itu.

Inilah yang membuat saya –sampai saat ini- cenderung pada pendapat kedua di atas yaitu mengikuti fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa wanita hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah dan tidak perlu meng-qadha. Lagi pula ini jelas lebih ringan bagi yang bersangkutan. Wallahu a’lam.

Bagaimana cara membayar fidyah?


Dalam beberapa riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa fidyah puasa Ramadhan dibayarkan dengan satu mudd (segenggam penuh tangan orang dewasa) burr (gandum terbaik). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abbas adalah setengah sha’ = dua mudd gandum. Berhubung tak ada nash juga dalam masalah ini maka baiknya disamakan saja dengan zakat fitrah baik barang maupun uangnya. Sebaiknya dibayarkan kepada orang miskin atau orang tak mampu. Boleh kepada satu orang untuk semua hari atau beberapa orang.

Dalam sebuah riwayat dari Ayyub bahwa Anas bin Malik rahimahullah ketika sudah tua dan tak mampu puasa beliau membayar dengan cara mengundang 30 orang miskin untuk satu kali makan di rumahnya, dan itu adalah pembayaran untuk 30 hari tidak puasa. (Lihat riwayatnya dalam Sunan Ad-Daraquthni, no. 2415).
Silahkan pilih mana yang menurut anda lebih gampang. Semoga bermanfaat.

وصلى الله على محمد وعلى آله وسلم

Referensi:

  1. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd (Al-Hafid), Dar Al-Jail Beirut, cet I 1989 M. 
  2.  Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili, program maktabah syamilah. 
  3. Fiqh As-Sunnah, As-Sayyid Sabiq, penerbit: Al-Fath lil I’lam Al-’Arabi, cet II, 1999 M. 
  4. Al-Hidayah syarh Bidayatul Mubtadi, Ali bin Abu Bakr Al-Marghinani, Dar Al-Fikr Beirut tanpa tahun. 
  5. Irwa` Al-Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktab Al-Islami, cet. 1985. 
  6. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kementerian Urusan Waqaf Kuait, program maktabah syamilah.
  7.  Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, program Maktabah Syamilah edisi II. 
  8. Al-Mushannaf, Abdurrazzaq Ash-Shan’ani, tahqiq: Habiburrahman Al-A’zhami, Program maktabah syamilah edisi II.
  9.  Sunan Ad-Daraquthni, program maktabah syamilah edisi II. 
  10. Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ibnu Al-Jauzi, cet I 1422 H. 
  11. Tafsir Ath-Thabari, tahqiq Syekh Ahmad Muhammad Syakir, Muassasah Ar-Risalah, cet I 1420 H.
Bogor, Minggu tanggal 17 Mei 2009, jam 14.00 – 14.55.

Anshari Taslim

Memories Of Hong Kong



I just thank to Allah, the only one God for all of the blessings. It’s a great honor and privilege for me to be here with a lot of professors from The University of Hong Kong, one of the best and reputable university in Asia (2nd rank; top-universities, 2016). Keep spirit and just continue travelling around the globe.

Pokfulam, 25 Ramadhan 1437 H

9 Jun 2016

Tentang Lurus dan Rapatnya Shof dalam Shalat


Untuk kesekian kalinya saya dapat komplain dari teman Egypt, Pakistan, Maroko, dan kemarin yg terbaru komplain rekan dari Jordan. Perihal meluruskan dan merapatkan shof sholat.

"Kenapa orang-orang Indonesia itu tidak mau merapatkan shof ketika sholat? Bayangkan, jarak shof mereka kebanyakan hampir selalu lebih dari satu jengkal. Ketika saya rapatkan kaki, eh mereka malah menghindar. Saya tempelkan lagi, menghindar lagi. Lalu saya malah dipelototin kayak mau ngajak berantem. Heran saya"
 
Kurang lebih begitulah aspirasi WNA untuk kita jamaah nusantara yang sedang ada di tanah air orang. Saya pun hanya terdiam, mendengarkan dengan sedikit menganggukkan, sambil berucap senyum dalam hati, wah ini bapak baru ketemu satu dua orang saja sudah heboh begini protesnya, nggak bisa dibayangkan klo bapak ini sholat di Indo dan ketemu kejadian serupa, bisa duel beneran mungkin nanti ya :)

Rapat dan lurus adalah bagian dari kesempurnaan sholat [1]. Jangan risih kalau ada tetangga sholat lalu mereka menempelkan kaki dengan kaki dan bahu dengan bahu [2], karena memang begitulah sunnahnya. Pria dan wanita sama saja.

Sahabat Anas bin Malik r.a, menjelaskan, "Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya..." [2]

Mungkin sebagian dari kita kalau sholat terkadang masih kurang khusyu', suka menghayal kesana kemari, banyak kekurangannya. Semoga lurus dan rapatnya shof sholat kita ketika berjamaah bisa menjadi penutup segala kekurangan sholat kita tersebut.

Keterangan :
[1] H.R Muslim
[2] Diterangkan dalam H.R Bukhori

1 Jun 2016

Mengenal Ahrar Syam


Oleh:

Wakil Amir Ahrar Syam, Syaikh Ali Al-Umar Hafizhahullah

Sejak runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun 1924, dunia Islam untuk pertama kalinya di dalam sejarah tidak memiliki seorang Khilafah. Setelah peristiwa itu, banyak bermunculan  gerakan-gerakan Islam yang mencoba untuk mendirikan kembali kekhalifahan.

Ada 4 model gerakan utama, dan Syaikh Ali Al-Umar mengatakan bahwa Ahrar Asy-Syam menganggap gerakan mereka berada dalam posisi ke-5 dari empat model yang ada dalam upaya pengembaliam Khilafah.

4 model Gerakan untuk membangun kembali kekhalifahan adalah sebagai berikut:

1. Mereka yang percaya bahwa umat Islam terlalu lemah dan tidak dapat membuat perubahan yang realistis melalui jalan memerangi seluruh dunia, dan satu-satunya cara untuk membangun kembali pemerintahan Islam adalah dengan memasuki lanskap politik saat ini dan mengubah realitas melalui politik, yang paling terkenal merepresentasikan kelompok ini adalah Ikhwanul Muslimin.

2. Kelompok kedua percaya bahwa Negara di dunia Muslim tidak akan berubah kecuali jika pribadi setiap muslim berubah dan kembali kepada Islam dengan ikhlas, kelompok ini percaya bahwa hal itu hanya mungkin dilakukan melalui dakwah dan menyerukan umat Islam lebih dekat dengan Islam, dan jika seorang Muslim melakukan perubahan kondisi mereka juga akan berubah. Yang paling terkenal merepresentasikan kelompok ini adalah Jamaat Al Tabligh

3. Kelompok ketiga percaya bahwa perubahan hanya dapat benar-benar terjadi bila dilakukan oleh penguasa atau Militer yang dibimbing untuk membangun kembali pemerintahan Islam, yang paling terkenal merepresentasikan kelompok ini adalah Hizbtut -Tahrir

4. Kelompok keempat adalah mereka yang percaya bahwa pemerintahan Islam hanya akan kembali ditegakkan melalui Jihad dan perang, bahwa apa yang diambil secara paksa hanya akan kembali dengan kekuatan,  di antara banyak kelompok Jihad,  yang paling terkenal merepresentasikan kelompok ini adalah Al-Qaeda.

Syaikh Ali Al-Umar mengatakan Ahrar Syam tidak termasuk dari salah satu dari 4 klasifikasi tersebut. Tetapi, menurut  dia, Ahrar memandang dirinya sebagai kelompok pada kategori ke-5. Kata Ali, Ahrar percaya gerakannya harus mengambil apa yang bermanfaat dari 4 model gerakan ini dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.

Dia juga mengatakan bahwa masing-masing pemikiran kelompok-kelompok itu dapat digunakan tergantung kondisi dan realitas. Misalnya, lanjut dia, di Suriah hanya Jihad dan perang yang menjadi solusi, adapun semua cara lain tidak mungkin,  "Mungkinkah Bashar disadarkan melalui dakwah? Atau akankah dia dijatuhkan melalui politik?" tanyanya retorism

Tapi, lanjut dia, di negara lain mungkin Dakwah adalah pilihan terbaik untuk membuat perubahan yang efektif. Seperti itulah secara singkat pandangan dan 'manhaj' dari Ahrar Asy-Syam.

Saat ini, ada beberapa poin penting yang menurut Ahrar Asy-Syam menjadi prioritas utama. Berikut beberapa poin-poin penting tersebut:

1. Membatasi musuh dengan cara apapun yang memungkinkan hanya menargetkan Bashar Assad. Dia memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW menawarkan musuh-musuh Islam sepertiga simpanan kurma agar mencegah para musuh Islam memerangi umat Islam.

Dia mengatakan, Ahrar Asy-Syam mengetahui bahwa permainan politik saat ini dan solusi yang ada semuanya hanya akan berujung pada kegagalan dan kekonyolan. Akan tetapi, Ahrar tetap membentuk biro politik untuk tujuan yang lebih besar dalam rangka mengurangi musuh.

2. Pentingnya Menjaga dukungan rakyat Rakyat. Syaikh Ali Al-Umar memberi contoh di Irak, katanya, di Irak pada tahun 2007 "Mujahidin dalam kondisi terkuat, baik dalam segi jumlah, wilayah dan terirorial, Amerika dan sekutunya tidak bisa bermimpi merebut sejumlah wilayah mujahidin. Tapi, karena kesalahan beberapa mujahidin yaitu organisasi Daulah Islam Irak yang saat ini bertransformasi menjadi ISIS, banyak masyarakat yang berbalik melawan mereka.

Amerika bertahun-tahun berusaha membentuk Majelis Sahawat (milisi pro-AS), tapi selalu gagal karena dukungan besar masyarakat masih berpihak kepada para mujahidin.

Akan tetapi, setelah dukungan rakyat untuk mujahidin hilang, hanya beberapa bulan, dari April ke Agustus 2007, mujahidin kehilangan hampir semua teritori dan wilayah mereka, para mujahidin menghadapi situasi dibunuh, ditangkap, atau melarikan diri ke gurun. Hal ini semua terjadi disebabkan hilangnya dukungan rakyat. "Kami di Ahrar Asy-Syam menempatkan prioritas penting agar tidak kehilangan dukungan rakyat kita," tandas Ali.

3. Syaikh Ali Al-Umar mengatakan, Ahrar Asy-Syam tidak dapat mendirikan negara Islam seorang diri. Ahrar membutuhkan semua kelompok untuk bersama-sama dalam membangun pemerintahan Islam. Ahrar Asy-Syam juga mengambil fatwa dari semua ulama Muslim Sunni di mana saja.

4. Ahrar Asy-Syam percaya gerakannya tidak mungkin dapat mengalahkan koalisi Rusia, milisi Syiah (Irak, Afghanistan, Libanon, dll), Iran, dan Bashar Assad seorang diri. Menurut Ahrar, musuh hanya dapat dihadapi, bila semua kelompok bersatu dan mengesampingkan perbedaan keyakinan di antara mereka.

Dia memberikan 3 contoh persatuan pada sejarah jihad:

1. Muhammad Al Fatih --penakluk Konstantinopel -- merupakan seorang pengikut Maturidiyah tapi semua umat Islam berjuang di bawah kepemimpinan dia.

2. Salahudin Al-Ayubi - yang merupakan pengikut Asy'ariyah, semua Muslim mendukung dan berjuang bersamanya untuk merebut kembali Al-Quds/Yerusalem.

3. Gerakan Taliban di Afghanistan yang sangat dia puji karena mendirikan pemerintahan Islam. Dia mengatakan, Taliban telah berjuang bersama semua elemen sunni sebagai pasukannya, sehingga mereka berhasil. Di dalam Thaliban ada elemen Salafi, Deobandis, Sufi, dll.

Dia mengatakan masyarakat Sunni perlu menghindari elitisme dan bersatu untuk tujuan bersama.

Dalam penjelasannya ini, terakhir  dia memperingatkan bahaya sekularisme dan ekstremisme.

Ini adalah cara yang paling sederhana untuk menjelaskan siapa dan apa itu Ahrar Asy-Syam.

Diambil dari cuitan twitter Abu Sumiyyah Al-Khalidi -- Semoga Allah melindungi dia dan membuat dia teguh pada kebenaran--- resume dalam ceramah Syaikh Ali Al-Umar. [MU Bilal]

Istighfar Yang Menarik Imam Ahmad Sampai Bashrah



Menjelang akhir hidup Imam Ahmad bin Hambal atau dikenal juga Imam Hambali, beliau bercerita tentang perjalanan yang luar biasa dan mencerahkan jiwanya. Murid utama Imam Syafi'i ini bertutur: "Satu ketika, (saat usiaku telah tua) aku tidak tahu mengapa aku ingin pergi ke Bashrah."

Beliau sendiri merasa heran, mengapa ada dorongan kuat sekali untuk pergi ke Bashrah. Beliau saat itu beliau sedang menetap di Baghdad.Padahal, tidak ada janji sama sekali dengan siapa pun. Dan, tidak ada hajat apa pun di kota itu. Akhirnya Imam Ahmad pergi sendiri menuju ke kota Bashrah.

"Ketika sampai Bashrah, malam telah masuk waktu Isya'. Saya ikut shalat berjamaah Isya di salah satu masjid. Hati saya merasa tenang, lalu saya ingin beristirahat," tutur beliau.

Setelah shalat Isya' ditunaikan dan jamaah telah pun berhambur keluar masjid, maka Imam Ahmad ingin sekadar beristirahat di masjid itu sambil tiduran.

Namun, tiba-tiba Takmir masjid datang menemui Imam Ahmad sambil bertanya, "Wahai Syaikh, apa yang kau lakukan disini?"

Pengurus masjid ini memanggilnya "Syekh" karena orang yang di depannya tampak tua, bukan karena dia orang kaya atau orang alim. Dia sama sekali tidak tahu bahwa orang yang ditemui itu adalah Imam Ahmad. Ulama sangat termashur di zamannya.

"Saya hanya ingin beristirahat. Saya musafir," jawab Sang Imam.

"Tidak boleh! Tidak boleh tidur di masjid ini!" bentak pengurus masjid.

Dengan sikap tawaduknya, Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan siapa dirinya. Padahal di seluruh negeri, semua orang kenal siapa Imam Ahmad. Tetapi, tak semua orang pernah melihatnya langsung. Terjadilah peristiwa yang menyedihkan, Imam Ahmad diusir dari masjid. Beliau didorong-dorong hingga hampir tersungkur. Setelah beliau di luar, masjid itu pun dikunci. Setelah berada di luar masjid yang sudah terkunci pintunya, beliau ingin tidur di teras masjid itu karena kelelahan.

Namun, ketika sedang berbaring di teras masjid tersebut, tiba-tiba Marbot itu kembali datang dan memarahi Imam Ahmad.

"Apa lagi yang akan kau lakukan, Syekh?" bentaknya.

"Saya mau tidur, saya musafir," jawab Imam Ahmad.

"Jika di dalam masjid tidak boleh, maka di teras masjid pun tidak boleh," tegas marbot.

Imam Ahmad pun diusir dengan cara yang tak sopan. Bahkan, beliau didorong-dorong hingga ke jalanan. Kesabaran Imam Ahmad telah teruji. Beliau sama sekali tak marah dan sama sekali tak mau menunjukkan siapa sesungguhnya beliau. Padahal, jika marbot itu tahu siapa sesungguhnya dia, pasti tak akan terjadi peristiwa ini.

Kebetulan, di samping masjid itu ada warung penjual roti. Sebuah rumah kecil sekaligus untuk membuat dan menjual roti. Tampak ada seorang penjual roti yang sedang membuat adonan, sambil melihat kejadian yang menimpa Sang Imam yang didorong-dorong oleh marbot tadi.

Ketika Imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh, "Kemarilah,Syekh, kau boleh menginap di tempatku. Aku mempunyai tempat, meskipun kecil."

"Baiklah. Terima kasih," jawab Imam Ahmad sambil masuk ke rumahnya. Lalu, duduk di belakang penjual roti yang sedang membuat roti.

Lagi-lagi, Imam Ahmad sama sekali tidak memperkenalkan siapa dirinya. Beliau hanya mengaku sebagai musafir.

Penjual roti ini punya kebiasaan yang unik. Mungkin seperti orang yang pendiam dan tak banyak basa-basi. Jika Imam Ahmad ngajaknya bicara, baru dia mau menjawabnya. Tapi, jikalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar.

Bacaan istighfarnya tak pernah berhenti. Saat menaruh garam pada adonan, dia menyebut "Astaghfirullah", saat mau memecahkan telur, dia pun menyebut "Astaghfirullah", saat mau mencampur gandum pun mengiringi dengan "Astaghfirullah." Praktis, dalam setiap keadaan dia mendawamkan istighfar.

Peristiwa menarik ini diperhatikan terus-menerus oleh Imam Ahmad.
Lalu beliau bertanya "Sudah berapa lama kau lakukan ini?"

Orang itu menjawab, "Sudah lama sekali syekh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan membaca istighfar."

Lalu, Imam Ahmad bertanya lagi, "Apa hasil dari perbuatanmu ini?" Penjual roti itu menjawab "(Melalui wasilah istighfar) tidak ada hajat yang aku minta , kecuali pasti dikabulkan Allah. semua yang aku minta Allah, langsung diterima".

Orang ini sangat percaya denga. hadis Nabi,"Siapa yang menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya.

"Semua dikabulkan Allah, kecuali satu, masih satu yang belum Allah berikan kepadaku," ungkap penjual roti.

"Apa yang belum Allah kabulkan?" tanya Imam Ahmad penasaran.

Orang itu menjawab, "Aku minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad."

Saat itu juga Imam Ahmad kaget luar biasa hingga beliau bertakbir, "Allahu akbar! Allah telah mendatangkan saya jauh dari Baghdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan itu ternyata karena istighfarmu."

Penjual roti pun terperanjat. Dia memuji Allah bekali-kali, karena ternyata yang di depannya adalah Imam Ahmad, orang yang sangat dirindukan dan diharapkannya berada di hadapannya, di dalam rumahnya sendiri.

Sebuah tarikan dzikir "istighfar" yang dilantunkan oleh seorang secara terus-meneris mampu menarik kordinat seorang ulama hadis terkemuka dan imam mazhab. Sungguh, betapa indah ajaran istighfar yang pernah diajakan Rasulullah SAW.

---Dirujuk dari kitab Manakib Imam Ahmad

27 Mei 2016

Perspektif Ulama Salafiyyin terhadap Imam Ibnu Hajar Al Asqolani dan Imam Nawawi Rahimahullah

Salah satu ulama umat Islam di Madinah dimana saya bertempat tinggal berkata: “Bahwa Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi adalah pelaku bid’ah, ia menyebutkan beberapa dalil dari “Fathul Baari” untuk menguatkan pendapatnya tersebut. Ia juga memberikan contoh dari pendapatnya tersebut dari syarahnya Imam Ibnu Hajar, bahwa maksud dari “Wajhullah” adalah rahmat-Nya. Bagaimanakah pendapat anda ?

Jawab :

Alhamdulillah. Ahlus sunnah pendapatnya objektif dalam menghukumi seseorang. Tidak mengangkat seseorang di atas kapasitasnya dan tidak pula mengurangi apa yang menjadi miliknya. Dan di antara bentuk berimbang dalam menjelaskan tentang seseorang adalah menjelaskan pula beberapa kesalahan para ulama, dan orang yang menta’wil ilmunya, dan tetap mendoakan agar mereka mendapatkan rahmat Allah. Termasuk juga di antara bentuk informasi berimbang adalah mengajak untuk berhati-hati akan kesalahannya, sehingga seseorang tidak terkesima dengan kedudukannya, dan mungkin mengikuti kesalahannya. Ahlus sunnah tidak terburu-buru menghukumi seseorang yang menyelisihi sunnah dengan sengaja, yaitu; sebagai pelaku bid’ah dan sesat.

Ada beberapa orang di masa kita ini yang menuduh kedua Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi, dan mengatakan bahwa mereka adalah ahli bid’ah dan sesat. Dan bahkan sebagian mereka sampai pada derajat bodoh dengan mengatakan wajib hukumnya untuk membakar kedua kitab “Fathul Baari” dan “Syarah Muslim”.

Namun juga bukan berarti mereka berdua tidak memiliki kesalahan dalam masalah agama, khususnya dalam masalah asma’ wa sifat (Nama-nama dan Sifat-sifat Allah). Ulama kita sudah memberikan catatan, menjelaskannya, pada saat yang sama mereka juga mengharapkan mereka berdua mendapatkan rahmat dari Allah, memuji keduanya sesuai dengan derajatnya, mendo’akan baik bagi mereka berdua, dan berpesan untuk mengambil manfaat dari kitab-kitab mereka berdua. Inilah bentuk berimbang yang yang dikenal dalam ahlus sunnah wal jama’ah, sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang membid’ahkan keduanya, menyesatkannya, bahkan berkata agar kitab-kitab mereka berdua dibakar. Juga sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang mengambil pendapat keduanya seperti halnya wahyu (yang tidak pernah salah), dan menjadikan apa yang menjadi keyakinan keduanya adalah kebenaran yang tidak diragukan lagi. Kami akan menyebutkan beberapa pendapat ulama kita, agar seorang muslim bersikap berimbang dalam menilai, mengetahui, menghukumi dengan adil kepada kedua imam tersebut:

1. Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:

Bagaimanakah sikap kita terhadap beberapa ulama yang mentakwil sifat-sifat Allah, seperti: Ibnu Hajar, Imam Nawawi, Ibnul Jauzi, dan lain sebagainya. Apakah kita tetap menganggap mereka termasuk para Imam ahlus sunnah wal jama’ah atau bagaimana?, apakah kita berkata: Mereka melakukan kesalahan dengan takwil mereka, atau mereka sesat ?

Mereka menjawab:

“Sikap kita terhadap Abu Bakar al Baqillani, al Baihaqi, Abu al Farj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya an Nawawi, Ibnu Hajar dan yang serupa dengan mereka dari beberapa ulama yang mentakwil sebagian sifat-sifat Allah atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tentang hakekat makna sifat-sifat tersebut. Menurut hemat kami mereka semua termasuk para ulama kaum muslimin yang ilmunya bermanfaat bagi umat, semoga Allah merahmati mereka semua dengan rahmat yang luas dan jazahumullah khoiral jazaa’. Mereka masih tergolong ahlus sunnah dalam masalah-masalah yang sesuai dengan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- dan para ulama salaf pada tiga abad pertama yang mendapatkan persaksian baik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Namun mereka bersalah kerena mentakwil nash yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, hal itu bertengan dengan ulama salaf dan para imam sunnah –rahimahumullah-. Baik mereka mentakwil sifat-sifat dzatiyah, ataupun sifat perbuatan atau sebagiannya.

Petunjuk yang benar hanya milik Allah. Semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-

(Syekh Abdul Aziz bin Baaz, Syekh Abdur Razzaq al ‘Afifi, Syekh Abdullah bin Qu’ud)

(Fatawa Lajnah Daimah: 3/241)

2. Syekh Muhammad bin Shaleh al ‘Utsaimin –rahimahullah-:

Berkaitan dengan ulama yang memiliki beberapa kesalahan dalam aqidah, seperti: masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah dan lain-lain. Nama-nama mereka tidak asing lagi bagi kami, apalagi ketika kami kuliah dahulu. Pertanyaannya adalah apa hukumnya mendoakan mereka dengan ucapan: “semoga Allah merahmati mereka semua”?

Syekh bertanya balik: “Seperti siapa ?“

Penanya          : “Seperti Zamakhsyari, Zarkasyi dan lain-lain..”

Syekh               : “Zarkasyi dalam masalah apa ? “

Penanya          : “Dalam masalah Nama-nama dan sifat-sifat Allah”.

Beliau menjawab:

“Yang jelas di sana ada beberapa orang yang menisbahkan dirinya kepada kelompok tertentu dengan membawa bendera bid’ah, seperti Mu’tazilah yang termasuk di dalamnya adalah Zamakhsyari ia seorang mu’tazilah, ia menamakan orang-orang yang menetapkan sifat-sifat kepada Allah sebagai Hasyawiyah (tidak bisa dipercaya) atau Mujassimah (berbentuk), dan menyesatkan mereka. Oleh karenanya bagi siapa saja yang membaca bukunya “al Kasysyaf” dalam mentafsiri al Qur’an agar berhati-hati dengan pendapatnya dalam masalah sifat-sifat Allah. Namun kitab tafsir tersebut dari sisi balaghah adalah baik, banyak memberikan manfaat, tentu saja bahaya bagi siapa saja yang belum mengetahui tentang masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

Akan tetapi di sana ada beberapa ulama yang terkenal baik, dan tidak termasuk dalam kelompok ahlul bid’ah, namun dalam pendapat mereka ada beberapa yang mengandung bid’ah, seperti Ibnu Hajar al Asqalani dan An Nawawi –rahimahumallah-. Sebagian orang-orang yang tidak mengerti menuduh mereka berdua sembarangan, bahkan dikatakan kepada saya: “Sungguh sebagian orang berkata: Diwajibkan untuk membakar kitab “Fathul Baari” ; karena Ibnu Hajar adalah termasuk ‘Asy’ariyyah, hal ini tidak benar; karena kedua ulama tersebut saya tidak pernah mengetahui pada masa sekarang ada seseorang yang mampu mempersembahkan sebuah karya terbaiknya kepada Islam dalam masalah hadits seperti karya mereka berdua. Hal itu menunjukkan kepada anda bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- dengan daya dan kekuatan-Nya -saya tidak mendahului kehenak Allah- bahwa Dia telah menerimanya. Hampir semua hasil karya mereka berdua dapat diterima oleh semua pihak, baik yang terpelajar, bahkan sampai masyarakat umum. Kitab “Riyadhus Shalihin” misalnya ia dibaca pada setiap majelis, dan pada setiap masjid, mampu memberikan manfaat kepada banyak kalangan. Saya berharap bahwa Allah akan menjadikan salah satu buku saya seperti kitab “Riyadhus Shalihin”, semua orang akan mendapatkan manfaat di rumahnya, di masjidnya.

Maka bagaimana mungkin kedua ulama tersebut dikatakan bahwa mereka ahli bid’ah dan sesat, tidak boleh berdoa agar mereka mendapatkan rahmat Allah, dan tidak boleh membaca buku-bukunya, dan wajib membakar Fathul Baari dan Syarah Muslim ?!!. Subhanallah, maka saya katakan kepada mereka baik dengan bahasa lisan maupun perbuatan:

أَقِلُّوا عليهمُ لا أبا لأبيكمُ مِن اللومِ أو سدوا المكان الذي سدوا

“Persedikit dalam menilai mereka –demi Allah-  dari celaan, atau tutuplah tempat itu”.

Siapa yang mampu mempersembahkan karya terbaiknya untuk Islam sebagaimana yang mereka persembahkan ?!... kecuali jika Allah berkehendak. Maka saya berkata: Semoga Allah mengampuni Imam Nawawi, Ibnu Hajar al Asqalani, dan siapa saja yang mirip dengan mereka berdua, yang Allah jadikan mereka bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Semuanya hendaknya mengamininya. (Liqaat Bab Maftuh: 43/soal nomor: 9)

3. Syekh Shaleh bin Fauzan al Fauzan –hafidzahullah-

Ada muncul perbedaan di antara penuntut ilmu syar’i tentang definisi pelaku bid’ah:

Sebagian mereka berkata: ia adalah orang yang berkata atau berbuat bid’ah, meskipun belum di cek kebenarannya. Sebagian yang lain berkata: harus di cek kebenarannya. Sebagian yang lain membedakan antara perkataan seorang alim dan mujtahid dan lainnya yang mencetuskan dasar-dasar yang berlawanan dengan manhaj ahlusunnah jama’ah. Bahkan sebagian mereka membid’ahkan Ibnu Hajar dan An Nawawi dan tidak boleh (mendo’akan) mereka agar mendapatkan rahmat Allah?

Beliau menjawab:

Pertama:

“Tidak selayaknya bagi para santri pemula atau yang lainnya menyibukkan diri untuk membid’ahkan seseorang atau menganggapnya fasiq; karena masalah tersebut sangat berbahaya dan sensitif, sedang mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam masalah tersebut. Yang demikian itu juga akan melahirkan kebencian dan permusuhan. Kewajiban mereka yang sesungguhnya adalah menuntut ilmu dan menahan lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

Kedua:

Bid’ah itu adalah mendatangkan suatu hal yang baru dalam agama yang bukan termasuk darinya sebelumnya, berdasarkan hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi was sallam- :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري)

“Barang siapa yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam urusan kami, yang sebelumnya bukan termasuk darinya, maka akan tertolak”. (HR. Bukhori)

Apabila seseorang melakukan kesalahan atau menyimpang atas dasar ketidaktahuan, maka ia dimaafkan karena ketidaktahuannya dan tidak dihukumi sebagai pelaku bid’ah, namun apa yang dilakukannya termasuk bid’ah.

Ketiga:

Barang siapa yang memiliki kesalahan dalam masalah ijtihadiyah, yang lain telah mentakwilnya, seperti Ibnu Hajar, Nawawi dan beberapa sifat Allah yang telah mereka takwil, maka ia tidak dihukumi sebagai seorang pelaku bid’ah. Namun dijelaskan bahwa inilah kesalahan  mereka, dan diharapkan mereka mendapat ampunan dengan besarnya perhatian mereka terhadap sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kedua mereka tersebut adalah imam yang mulia, dapat dipercaya oleh para ulama. (al Mauntaqa min Fatawa Fauzan: 2/211-212).

4. Syekh Muhammad Nashiruddin al Al Baani –rahimahullah-:

Seperti Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan lainnya yang serupa dengan beliau berdua, adalah sebuah kedzaliman jika mereka di sebut sebagai ahli bid’ah. Saya mengetahui bahwa kedua ulama tersebut dari ‘Asy’ariyyah. Namun keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi al Qur’an dan Sunnah, akan tetapi mereka ragu-ragu dan mengira bahwa aqidah ‘Asy’ariyyah itulah yang diwarisakn.

Mereka mengira dari dua sisi:

Pertama: Bahwa Imam Asy’ari juga berpendapat demikian, namun pada masa lalu; karena beliaunya pada akhirnya kembali (ke jalan yang benar).

Kedua: Mereka mengira bahwa pendapat itulah yang benar, padahal tidak.

(Dari kaset nomor 666, dengan tema: “Man Huwa al Kafir wa Man Mubtadi’)

semoga Allah senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kedua imam tersebut. Semoga Allah mengampuni kesalahan mereka berdua.

Wallahu a’lam.

sumber : https://islamqa.info/id/107645

21 Mei 2016

Perspektif Ulama 'Salafiyyin' terhadap Akidah Asy'ariyah

1. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata mengenai Asy'ariyyah:


وهم في الجملة أقرب المتكلمين إلى مذهب أهل السنة والحديث

"Mereka secara umum adalah ahli kalam yang paling dekat dengan madzhab Ahlus Sunnah dan Hadits."

Bisa disebut Ahlus Sunnah jika perbandingannya dengan rafidhah. Kata beliau:



وهم يعدون من أهل السنة والجماعة عند النظر إلى مثل المعتزلة، والرافضة وغيرهم، بل هم أهل السنة والجماعة في البلاد التي يكون أهل البدع فيها هم المعتزلة، والرافضة ونحوهم

"Dan mereka termasuk Ahlus Sunnah wal Jama'ah jika dibandingkan dengan sekte semisal Mu'tazilah, Syi'ah Rafidhah, dan selain mereka. Bahkan mereka adalah Ahlus Sunnah di negeri yang di dalamnya berisi ahli bid'ah yaitu Mu'tazilah dan Rafidhah, dan yang semisal mereka."
 

2. Fatwa Syaikh Nashiruddin Al Albani

Tanya Jawab bersama Al Albani dalam Silsilatul Huda wan Nuur, kaset no. 327

Penanya:
"...Mengenai Asy'ari, apakah bisa kita katakan mereka itu termasuk ahlus sunnah wal jama'ah?"

Syaikh:
"Jawaban yang adil adalah, mereka adalah ahlus sunnah dalam banyak perkara, dan tidak termasuk ahlus sunnah dalam sebagian kecilnya."

Penanya:
"Jazakallahu khair"

Syaikh:
"Wa iyyaka."
 

3. Fatwa Syaikh bin Sholih Al Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah orang-orang yang bermazhab Asy’ariyah termasuk ke dalam ahlus sunnah wal jama’ah? Kami mohon penjelasannya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab:

Orang-orang yang bermazhab Asy’ariyah termasuk ahlus sunnah wal jama’ah pada apa yang mereka sama dengan ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka menyelisihi ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah sifat-sifat Allah, karena mereka tidak menetapkan sifat-sifat Allah kecuali hanya tujuh sifat. Bersamaan dengan itu, mereka tidak menetapkan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh ahlus sunnah. Karena itu, tidak semestinya kita katakan, mereka ahlus sunnah secara mutlak. Juga tidak kita keluarkan mereka dari ahlus sunnah secara mutlak.

Akan tetapi, kita katakan, mereka bagian ahlus sunnah pada apa yang mereka sepakati dengan ahlus sunnah dan mereka menyelisihi ahlus sunnah pada apa yang mereka selisihi dari ahlus sunnah. Perincian [seperti itu] adalah sesuatu yang haqq. Dan Allah ta’ala berfirman,


 وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا

“Dan jika kalian berbicara, maka berlakulah adil.” (QS. Al An’am: 152)

Mengeluarkan mereka secara mutlak dari ahlus sunnah tidak termasuk tindakan adil. Memasukkan mereka secara mutlak ke dalam ahlus sunnah tidak termasuk tindakan adil juga. Dan yang wajib, hendaklah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Rujukan: Silsilah Liqa-at Al Bab Al Maftuh: 6.

19 Mei 2016

Hanya Orang yang Kurang Iman saja yang masih Takut Tidak Kebagian Rezeki




Beberapa waktu lalu usai sholat isya, tak sengaja saya diundang makan bersama keluarga besar muslim Pakistan di TGM. Selama punya facebook, rasanya baru kali ini saya ikut trend kekinian upload foto dulu sebelum makan.

Bukan menu makanannya yang membuat istimewa, meski sebenarnya di situ ada sejenis nasi biryani khas Pakistan yang diramu bersama  gulai kambing lengkap dengan kaldu sedapnya. Yang membuat sedikit berpikir adalah, sejenak diri ini terbesit bahwa nasi yang ada dihadapan saya ini, saya tidak tahu dari mana berasnya, yang tanam padinya siapa, yang panen siapa, yang beli siapa, sampai yang masak siapa, semuanya saya sama sekali tidak tahu, tapi anehnya tiba-tiba saja itu semua datang di depan saya.

Begitu juga dengan daging kambingnya ini. Kambingnya ini milik siapa saya tak tahu, dari mana asalnya, lalu kemudian tiba-tiba muncul begitu saja di depan saya hanya sekedar untuk siap saya makan. Ajaibnya lagi, saya tinggal makan saja, tanpa harus repot nyembelih kambingnya, tanpa perlu repot harus masak dan ngasih bumbunya. Hebatnya lagi, kalau daging ini habis, tanpa perlu diminta sang petugas akan langsung dengan tanggap isi ulang nasi dan dagingnya lagi, dan ini bisa terus berlangsung sampai para tamu semuanya kenyang. Jangan lupa dan ini semua gratis. Kebahagiaan anak rantau tentunya :)

Kalau diingat dengan sedikit saja perenungan, bukankah ini hal yang luar biasa? Betapa tidak, posisi saya dari tempat awal sholat tadi ke tempat makan ini mungkin hanya beberapa langkah saja. Dan sekarang coba dibandingkan, berapa puluh ribu langkah yang harus ditempuh si daging kambing dan semua makanan tersebut untuk mendekati saya (?)

Jadi kalau kembali dipikirkan, sebenarnya mana yang lebih hebat, manusia mendatangi rezeki atau rezeki mendatangi manusia?

Sungguh, sebenarnya hanya orang-orang yang kurang iman saja yang masih takut kalau tidak kebagian rezeki.

Akhirnya kembali diri ini tercerahkan untuk menerjemahkan kebenaran apa yang disabdakan Rasul SAW. “Sesungguhnya rizki akan mengejar seorang hamba sebagaimana ajal mengejarnya” (H.R. Ibnu Hibban)

Kita memang tidak tahu rezeki kita ada dimana, tapi sebaiknya kita yakin bahwa rezeki kita tahu kita ada dimana.

Bukankah katamu, rezeki itu sudah pasti sementara surga itu belum pasti?
Lalu kenapa kau rela bersusah payah untuk sesuatu yang sudah pasti namun melupakan sesuatu yang belum pasti?

H-17 Ramadhan, ayo bersih-bersih hati..

10 Mei 2016

Benarkah Kita Menginginkan Surga?

oleh : Ust. Muhammad Iltizam Amrullah

Ketika ada seseorang hendak mengajukan lamaran ke sebuah instansi tertentu, maka sudah pasti ia mengetahui dan faham apa hak-hak yang akan ia dapatkan jika bekerja di sana dan apa syarat-syarat yang akan ia dapatkan.

Misal:

Hak-hak yang akan ia dapatkan:

- Gaji 10jt/bulan
- Tunjangan keluarga
- Rumah dinas
- Mobil dinas

Maa syaa Allaah.. Bukan kah ini sebuah kenikmatan?.

Namun jangan lupa untuk mendapatkan semua hak itu, ia harus memenuhi syarat-syaratnya. Setidaknya, ia harus selesai S1. Tau kan berapa lama S1 ditempuh?

6th (SD) + 3th (SMP) + 3th (SMA) + 4th (S1)

Berapa? 16th.

Hanya untuk mendapatkan itu ia rela 16th belajar. Mengeluarkan biaya puluhan bahkan ratusan juta.
Lalu, untuk meraih surga-Nya yang kita bisa meminta apa pun yang kita mau di sana, yang nikmatnya tiada batasan..

Sudah berapa lama kita habiskan waktu untuk belajar mendapatkannya?

Lebih 16th kah? Atau sesenggangnya? Atau kalau kebetulan ada saja?

Sudah berapa puluh dan ratusan juta kita habiskan uang kita untuk mempelajari memahami firman-Nya dan sunnah nabi-Nya?

Lebih dari puluhan juta? Atau kita lebih mengajeni guru bhsa Inggris daripada guru ngaji kita yang mengajarkan ad-diin pada kita?

Sudah benarkah kita berharap surga?

Sudah jujurkah kita pada-Nya atas do'a kita yang meminta surga?

Sesuai kah tercerminkan do'a kita dalam aktivitas harian kita?

Berdoa berharap diterima ibadah kita dan masuk ke dalam surga, namun lebih sibuk dan berjerih payah tuk mendapatkan ilmu dunia tuk meraih dunia.

Rasulullah bersabda,
ابغض الرجال عند الله عالم بالدنيا و جاهل عن الاخرة

Orang yang paling dibenci di sisi Allah adalah seorang yang pintar dalam urusan dunia, namun bodoh dalam urusan akhirat.

Tadabbur Do'a Sapu Jagad

oleh : Ust. Muhammad Iltizam Amrullah

Ada yang hafal do'a sapu jagad? Saya yakin semuanya hafal.

Bagaimana bacanya? Begini
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

Bener gitu ya? Maa syaa Allaah semuanya hafal dengan mutqin.

Sahabat, Yuk kita tadabbur do'a ini.

Lihat pada do'a ini kita diajarkan untuk minta 3 hal. Apa itu?
1. Didatangkan kebaikan DUNIA pada kita.
2. Didatangkan kebaikan AKHIRAT pada kita.
3. Di hindarkan dari adzab NERAKA.

Lihatlah dalam do'a kita ini kita minta SATU hal berkaitan dengan DUNIA & DUA hal berkaitan dengan AKHIRAT.

Jadi, jika kita berdo'a & berharap sesuai dengan isi do'a sapu jagad ini sama halnya dg kita minta mendapatkan DUNIA (1x) & AKHIRAT (2x)

DUNIA - 1 & AKHIRAT - 2

INGAT.. Do'a kita adalah cerminan harapan kita. Dan harapan itu harus diperjuangkan, dikhtiyarkan.

PERTANYAANNYA..

Sudahkah IKHTIYAR, KESIBUKAN, PERJUANGAN yang menghabiskan usia kita menunjukkan bahwa kita benar-benar berharap mendapatkan 1 DUNIA & 2 AKHIRAT?

BERAPA UNTUK DUNIA? SATU (1)

BERAPA UNTUK AKHIRAT? DUA (2)

Lebih banyak mana? AKHIRAT.

Lalu ikhtiyar kita lebih banyak disibukkan untuk yang mana? DUNIA (1X) atau AKHIRAT (2X)?

Lalu perjuangan kita lebih prioritas untuk yang mana? DUNIA (1X) atau AKHIRAT (2X)?

Kita rela sibuk belajar ilmu dunia yang membuat waktu kita habis dan hanya sedikit belajar ilmu akhirat (agama).

Tidak kah ilmu dunia bisa didapatkan cukup sebutuhnya kita saja? Dengan kursus mungkin?

Kita rela sibuk bekerja di instansi yang membuat waktu kita habis lalu dengan gampangnya kita mengatakan "Halah dhuha kan sunnah, Halah yang penting jum'atan gak di shoff pertama juga gakpapa, Halah ngaji bisa 
via YouTube".

Bukan kah bekerja bisa dengan bisnis? Masih terlampau banyak cara mencari rizqi, cara mencari dunia dengan tanpa meninggalkan dhuha, jum'at di shoff pertama & bisa datang ke kajian-kajian yang ada.

INGAT. Kehidupan dunia melalaikan. Kehidupan dunia ada batasnya , fana. Maka PRIORITASKAN 2 kebaikan akhirat yang kau pinta dari 1 kebaikan dunia yang kau harap.

Yuk.. Berbekal segera. Kita tak tau batas kita sampai kapan di sini.

18 Apr 2016

Al Ikhwan Dekat dengan Syiah (?)

Petikan dari kitab yang ditulis oleh Umar At Tilmisani, 

"Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yang beraliran Syi’ah."

Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan: 
“Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehingga musuh tidak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam permasalahan semacam ini. Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan.” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)
Tanggapan :

Kebanyakan oknum yang mengkritik Al Ikhwan tidak terlalu memperhatikan aspek sejarah dan latar belakang sosial dan politis suatu ijtihad politik seseorang. Sikap inshaf biasanya dikalahkan oleh sentimen yang telah terbentuk sejak awal. Kemungkinan berikutnya, sang pengkritik memang tidak belajar metodologi historiografi dan sosiologi untuk menilai sesuatu.
 

Bagi yang membenci gerakan Al Ikhwan, tak sedikit oknum bahkan para thulab yang sering mengaitkan gerakan al ikhwan dekat dengan Syiah. Alasannya bermacam, diantaranya Syaikh Hasan Al Banna pendirinya pernah bertemu dengan seorang tokoh Syiah Iraq, lalu membuat pernyataan "saling hormat-menghormati."

Akan tetapi banyak yang lupa, bahwa pernyataan itu disampaikan pada era tahun 1940-an, ketika Mesir dan Iraq saat itu sedang sama-sama dalam masa KOLONIALISME. Semua pihak butuh kerjasama untuk melawan penjajah. 
Dan satu lagi, pada waktu itu era 1940-an, gerakan Syiah bersifat pasif, bukan tidak agresif seperti sebagaimana yang dilihat kaum muslimin saat ini. Dalam pandangan mereka, tidak ada Jihad sampai datang Al Mahdi. Namun setelah REVOLUSI KHOMEINI 1979 (jauh setelah Hasan Al Banna wafat), gerakan Syiah berubah total. Mereka menggerakkan PAN-SYIAHISME. Mereka kemudian mengekspor akidah syiah tersebut ke mana-mana.

Maka sejatinya, Syiah era lama dan era baru sangatlah berbeda. Syiah ala Khomeini, adalah SYIAH AGRESSOR. Dan pastinya, ideologi Al Ikhwan sudah kenyang menghadapi yang begitu. Wallahu a'lam.

Mari biasakan untuk mencari udzur untuk sesama Ahlus Sunnah.

Akidah Atsariyah-Taimiyah dan Asy 'Ariyah-Maturidiyah dalam Perspektif Al Ikhwan

Mengenai kubu aqidah (atsariyah-taimiyah dan asy'ariyah-maturidiyah), beliau menengahi:

Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:

أولا : اتفق الفريقان على تنزيه الله تبارك وتعالى عن المشابهة لخلقه .
ثانيا : كل منهما يقطع بأن المراد بألفاظ هذه النصوص في حق الله تبارك وتعالى غير ظواهرها التي وضعت لها هذه الألفاظ في حق المخلوقات ، وذلك مترتب على اتفاقهما على نفي التشبيه .

ثالثا : كل من الفريقين يعلم أن الألفاظ توضع للتعبير عما يجول في النفوس ، أو يقع تحت الحواس مما يتعلق بأصحاب اللغة وواضعيهاوأن اللغات مهما اتسعت لا تحيط بما ليس لأهلها بحقائقه علم ، وحقائق ما يتعلق بذات الله تبارك وتعالى من هذا القبيل ، فاللغة أقصر من أن تواتينا بالألفاظ التي تدل على هذه الحقائق ، فالتحكم في تحديد المعاني بهذه الألفاظ تغرير .
وإذا تقرر هذا فقد اتفق السلف والخلف على أصل التأويل ، وانحصر الخلاف بينهما في أن الخلف زادوا تحديد المعنى المراد حيثما ألجأتهم ضرورة التنزيه إلى ذلك حفظا لعقائد العوام من شبهة التشبيه ، وهو خلاف لا يستحق ضجة ولا إعناتا

Pertama. KEDUA kelompok sepakat dalam mensucikan Allah ﷻ DARI bentuk penyerupaan dengan makhluk-Nya.

Kedua. SEMUA kelompok sepakat untuk memutuskan bahwa maksud lafal dalam nash-nash seperti ini sepenuhnya dalam konteks yang sesuai dengan dzat Allah ﷻ, bukan sebagaimana dipahami untuk makhluk-Nya. Dengan demikian keduanya sepakat menghindari tasybih (penyerupaan Allah ﷻ dengan makhluk).

Ketiga. SEMUA pihak sepakat bahwa lafal-lafal ini disebutkan untuk mendekatkan pemahaman dalam benak, atau diletakkan dalam kerangka indrawi pengguna bahasa itu. Dan sebuah bahasa betapa pun tingginya, tidak mampu mengungkapkan sesuatu yang memang tidak dimengerti oleh penggunanya. Esensi yang berhubungan dengan dzat Alah ﷻ dipahami dalam konteks tersebut. Bahasa memang memiliki kelemahan untuk mengungkapkan hakikat ini.

Jika sudah ditetapkan yang demikian ini, maka antara salaf dan khalaf sepakat secara prinsip atas dasar-dasar ta’wil. Perbedaan mereka adalah bahwa khalaf menambahkan pembatasan makna yang dikandung dengan tetap menjaga kesucian Allah ﷻ dengan tujuan agar orang awam tidak terjerumus dalam pemahaman tasybih. Perbedaan seperti ini tidak seharusnya menghasilkan kegoncangan. (Majmu’ah Ar Rasail, Al Aqaid, Hal. 330)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India