31 Jul 2016

Catatan Perjalanan : Hualien, Taroko National Park

Orang ketika melihat lukisan pemandangan gunung yang bagus, indah, nampak mirip seperti aslinya, seketika kemudian pasti ia memuji sang pelukisnya.
Orang ketika melihat foto bukit, pepohonan dan panorama alam yang indah, seketika kemudian pasti ia memuji sang fotografernya.
Lantas, mengapa orang ketika melihat pegunungan, bukit dan pepohonan yang asli, langsung dengan mata kepala sendiri, terkadang masih lupa untuk memuji Allah SWT Tuhan yang Maha Pencipta?
Alhamdulillah, bersama para sahabat, masih diberi kesempatan untuk bertafakur alam mengagumi ciptaan Allah yang luar biasa. Semoga menjadikan diri semakin bersyukur.
Hualien, 26 Syawal 1437 H




24 Jul 2016

Catatan Wisuda



Alhamdulillah, segala kehormatan, kecerdasan dan kemuliaan hanya untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam. Setelah hampir kurang lebih 2 tahun bergulat dengan studi dan penelitian, akhirnya kemarin resmi sudah melepas status sebagai mahasiswa untuk yang kedua kalinya.

Sungguh tak pernah membayangkan bisa sampai ke jenjang pendidikan ini, dan semuanya selesai dengan beasiswa. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan? Dan yakinlah, saat segala urusanmu merasa selalu dimudahkan, ketahuilah bahwa saat itulah doa kedua orang tuamu sedang dikabulkan.
 

Kepada seluruh guru, pembimbing, sahabat dan rekan-rekan, kami ucapkan terima kasih atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Semoga kita semua tetap bisa istiqomah dalam menuntut ilmu dan pengetahuan. Never stop learning, because life never stop teaching.
 

Jika telah selesai dari satu urusan, maka segera kerjakanlah urusan yang lain."
 

Taipei, 19 Syawal 1437 H

20 Jul 2016

Qunut dalam 4 Mazhab

Qunut dalam 4 mazhab :

1. Madzhab Hanafi

Menurut ulama mazhab hanafi, qunut pada shalat subuh sudah dinasakh/dihapus (beberapa ulama dari madzhab hanafi mengatakan qunut subuh bid’ah)

Badruddin Al ‘Aini ( w 855 H) dari madzhab hanafi dalam kitab al binayah syarah al hidayah mengatakan:

قد ذكرنا النسخ ووجهه وكل من روى القنوت، وروى تركه ثبت عنده نسخه؛ لأن فعله للمتأخر ينسخ المتقدم

"Sudah kami sebutkan sisi dinasakhnya qunut, dan semua rawi yang meriwayatkan qunut dan meriwayatkan tidak qunut sudah menetepkan bahwa qunut sudah dinasakh, karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terakhir menasakh yang terdahulu." (Badruddin Al ‘Aini, Al Binayah Syarah Al Hidayah)

2. Madzhab Maliki

'Ulama mazhab maliki berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh masih disyariatkan dan hukumnya adalah sunnah, qunut dalam madzhab ini bisa dilakukan sebelum ruku’ pada raka’at kedua shalat subuh atau sesudah ruku’.

Ibnu Abdi Al-Barr dari madzhab maliki di dalam kitab Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah mengatakan:
ويقنت في صلاة الصبح الإمام والمأموم والمنفرد إن شاء قبل الركوع وإن شاء بعده كل ذلك واسع والأشهر عن مالك القنوت قبل 
الركوع
"Dan dianjurkan bagi imam, makmum atau orang yang shalat sendirian untuk melakukan qunut dalam shalat subuh, jika ia mau, sebelum ruku’ atau setelah ruku’, semua itu ada keluasan, dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik adalah sebelum ruku’."

3. Madzhab Syafi'i

Qunut pada shalat subuh menurut madzhab ini hukumnya mustahab/sunnah, qunut menurut ulama syafi'iyah dilakukan setelah ruku’ pada raka’at kedua shalat subuh dan jika seseorang lupa melakukan qunut dan langsung sujud maka dianjurkan untuk sujud syahwi.

Imam An Nawawi (w 676 H) di dalam kitabnya Al Majmu’ menyebutkan:

القنوت في الصبح بعد رفع الرأس من ركوع الركعة الثانية سنة عندنا بلا خلاف وأما ما نقل عن أبي علي بن أبي هريرة رضى الله 
عنه أنه لا يقنت في الصبح لأنه صار شعار طائفة مبتدعة فهو غلط لا يعد من مذهبنا

"Qunut pada shalat subuh setelah mengangkat kepala dari ruku’ pada raka’at kedua sunnah dalam madzhab kami tanpa ada perbedaan, adapun yang dinukil dari Abu Ali bin Abu Hurairah radiallahu ‘anu bahwa tidak qunut pada shalat subuh, karena hal itu sudah menjadi syi’ar kelompok ahli bid’ah maka itu salah dan tidak termasuk madzhab kami."

4. Madzhab Hanbali

Menurut ulama mazhab hanbali qunut pada shalat subuh tidak disunnahkan, begitu juga pada shalat fardhu yang lain, dan qunut hanya dianjurkan pada shalat witir.

Imam Ibnu Qudamah (w 620 H) dari madzhab hanbali didalam kitabnya al mughni menyebutkan:

ولا يسن القنوت في الصبح، ولا غيرها من الصلوات، سوى الوتر

"Dan tidak disunnahkan qunut pada sholat subuh, dan tidak juga pada shalat fardhu yang lainnya, kecuali shalat witir."

Ditulis ulang dari ustadz Muhammad Amrozi aja..

Wallahu a'lam.

(Faidah dari Ustadz Muhamad Amrozi dalam kampussyariah.com )

18 Jul 2016

"Apakah buhul pemberian dari kyai itu termasuk juga dalam perbuatan syirik?"



"Apakah buhul pemberian dari kyai itu termasuk juga dalam perbuatan syirik?"

Jawabannya iya [1]. Dan bisa dipastikan itu bukan kyai, tapi dukun yang berkedok kyai. Kyai ahlussunnah wal jama'ah tidak mungkin memberikan rajah, buhul atau jimat yang sejenisnya untuk menjamin keselamatan seseorang. Bagi seorang mukmin minta keselamatan itu caranya mudah dan murah, angkat tangan ucapkan sholawat dan tahmid, lalu berdoa, setelah selesai ucapkan aamiin [2]. Selesai. Mudah. Murah. Tidak perlu bawa jimat ke sana kemari. Tidak perlu beli jimat yang harganya sampai puluhan juta [3].

Memang tidak dipungkiri bahwa masih cukup banyak di antara masyarakat kita yang terjerumus dalam praktik syirik akbar namun karena kurangnya ilmu sehingga mereka tidak menyadarinya. Tidak heran, sebab biasanya para dukun itu memang lihai, acapkali mereka memakai identitas kyai, berbaju jubah dan sorban, berpenampilan meyakinkan untuk mengelabui pasiennya.

Ini contoh jimat, jimat keselamatan dari kyai katanya, rajah bertuliskan arab yang tidak jelas apa maknanya, dimasukkan ke dalam minyak kayu putih. Konon, kalau ada masalah, cukup oleskan minyak kayu putih yang sudah dicelupi rajah itu sambil baca bismillah tanpa nafas. Kalau masalah masih banyak, sementara minyaknya sudah habis maka bisa re-fill / isi ulang (memangnya air galon bisa diisi ulang?) Kalau isi ulang lagi tentu harus bayar lagi ke dukunnya. Dari sinilah si dukun cari duit.

Jangan mudah tertipu dengan dukun berkedok kyai gadungan. Ust. Arifin Ilham pernah berpesan dalam ceramahnya [4] bahwa ciri utama dukun berjubah kyai diantaranya ialah mereka selalu memberikan azimat atau amalan-amalan yang tidak syar'i. Selain itu mereka juga memasang tarif, biasanya menggunakan bahasa 'mahar', 'infak', disertai ancaman kalau tidak segera diobati maka pasien akan mati, kalau uang tidak segera ditransfer, doanya tidak akan sampai, penyakit tidak sembuh, dan sebagainya. Dan terakhir, kyai palsu itu biasanya menggunakan nama-nama kedigjayaan semacam Ki Gendeng Pamungkas, Ki Joko Pinter, Ki Segoro Langit, Kyai Rebo, dsb.

Tak ada kata terlambat untuk berbenah diri. Mari bersihkan akidah kita dari segala penyakit kesyirikan. Jangan takut sial, jangan takut celaka. Insya Allah dengan tauhid yang bersih, ibadah kita akan lebih khusyuk, hidup kita akan lebih tenang dan terjaga.

Referensi :
[1] Intisari Q.S Az Zumar:38, HR. Ahmad 4: 445
[2] Adab berdoa, H.R Tirmidzi 3476, H.R Abu Dawud 1481
[3] http://www.keongbuntet.com/?galeri-mustika-keong-buntet, http://www.pusatbendabertuah.com/, http://www.pusakamajapahit.com/all-product/, http://www.mistikjawa.com/?57%2Ckijing-rajah-kalija, http://www.jualmustika.com/katalog/ (BUKAN UNTUK DIBELI, tapi untuk DIWASPADAI, jika punya barang serupa, jangan ragu untuk dimusnahkan)
[4] Ilham, Arifin; 9 Ciri Dukun Berbaju Ulama; (2014) sumber: http://www.fimadani.com/9-ciri-dukun-berbaju-ulama-menurut…/

2 Jul 2016

Wanita Hamil dan Menyusui Qadha Puasa atau Bayar Fidyah?

Merespon beberapa pertanyaan yang masuk ke inbox saya di facebook, maka saya berusaha menjawab singkat masalah ini dengan memaparkan pendapat para ulama dan mana yang saya pilih dengan alasan tarjih tentunya.

Wanita hamil belum tentu menyusui, misalnya setelah dia hamil anaknya meninggal dunia. Maka hanya berlaku masalah kehamilan pada dirinya. Menyusui tak berarti baru saja melahirkan, karena ada saja wanita yang air susunya banyak dan bayinya sudah besar, tapi dia menyusui bayi orang lain. Yang seperti ini juga masuk dalam cakupan bahasan di atas.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, secara garis besar ada empat pandangan:
  1. Keduanya harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. (Lihat: Al-Hidayah syarh Al-Bidayah, juz 1 hal. 128, Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal. 506). 
  2. Keduanya harus membayar fidyah dan tak perlu mengganti puasa. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Sa’id bin Jubair, Qatadah 
  3. Bila dia hanya khawatir akan dirinya saja maka dia harus mengqadha, tapi bila mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya kalau berpuasa maka dia harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali. 
  4. Wanita hamil hanya boleh mengqadha dan tidak membayar fidyah, sedangkan wanita menyusui yang khawatir akan anaknya harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Maliki.
Dalil-dalil:
 
Dalil pendapat pertama:

Dalil pendapat pertama adalah meng-qiyas-kan wanita hamil dan atau menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain sebagaimana jelas dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 184 dan 185.

Dalil pendapat kedua:


Dalil pendapat kedua adalah fatwa dua orang sahabat Nabi SAW, terutama bagi madzhab yang menganggap bahwa fatwa sahabat itu menjadi salah satu dasar hukum bila tidak ada nash yang sharih. Riwayat Ibnu Abbas bisa ditemukan dalam Sunan Ad-Daraquthni, Tafsir Ath-Thabari dan lain-lain. Ibnu Abbas berkata, ”Bila seorang wanita hamil khawatir akan dirinya dan wanita menyusui khawatir akan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka boleh tidak puasa dan harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta TIDAK PERLU MENGQADHA.” (Tafsir Ath-Thabari, juz 3 hal. 427, nomor riwayat: 2758. Al-Albani mengomentari riwayat ini dalam Irwa` Al-Ghalil, juz 4 hal. 19, “Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim”).

Riwayat lain dari Ibnu Abbas adalah ketika dia melihat Ummu Walad (budak yang sudah melahirkan anak darinya) yang sedang hamil, maka dia berkata, ”Kamu ini sama dengan orang yang sukar melaksanakan puasa, maka kamu boleh berbuka dan harus memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang kamu tinggalkan serta TIDAK ADA KEWAJIBAN MENGQADHA (PUASA) atas dirimu.” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2759).

Adapun riwayat Ibnu Umar dapat diperoleh dari Mushannaf Abdurrazzaq (juz 4, hal. 218) yang berkata, ”Dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, wanita hamil yang khawatir akan dirinya di bulan Ramadhan boleh berbuka tapi harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha.”
Dan banyak lagi riwayat dari kedua sahabat Nabi yang mulia ini dan shahih sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil juz 4, hal. 19-20.

Dalil pendapat ketiga:

Madzhab Syafi’i dan Hanbali sebenarnya sama dengan madzhab Hanafi yang meng-qiyas-kan wanita hamil atau menyusui dengan orang sakit sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini adalah janin atau bayi yang disusui yang kalau mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain yaitu harus membayar fidyah lantaran batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain.

Setelah membaca dari beberapa literatur madzhab ini terutama kitab Al-Mughni maka sebenarnya mereka menggabung qiyas antara wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit sehingga wajib qadha dan meng-qiyas-kan pula keduanya dengan orang tua yang tak sanggup puasa sehingga wajib membayar fidyah. Dalam ushul fikih qiyas semacam ini biasanya dinamakan qiyas syabh.

Dalil pendapat keempat:

Pendapat yang membedakan antara wanita hamil dan menyusui beralasan bahwa wanita hamil di-qiyas-kan murni (qiyas taam) kepada orang sakit, sedangkan menyusui alasannya sama dengan alasan madzhab Syafi’i dan Hanbali.

Tarjih:

Berhubung tidak ada nash sharih (yang jelas) dalam masalah ini maka membuka peluang untuk berbeda pendapat. Secara analogi mungkin pendapat Hanafi lebih kuat, karena memang banyak kemiripan antara hamil dan menyusui dengan orang sakit dengan harapan sembuh dibanding dengan orang tua yang tak mampu puasa atau orang sakit yang tak ada harapan sembuh.

Sedangkan madzhab ketiga rasanya dalilnya agak dipaksakan dan membingungkan. Tapi bagi yang menganggap bahwa mengikuti fatwa sahabat Nabi SAW lebih utama daripada qiyas - dan ini sebenarnya adalah pendapat madzhab Hanbali dalam ushul fikih tapi anehnya dalam masalah ini mereka tidak mengamalkannya – maka lebih baik mengikuti fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Sebab, meski tidak ma’shum tapi mereka belajar langsung kepada Rasulullah SAW dan lebih mengerti sunnah dibanding para imam madzhab itu.

Inilah yang membuat saya –sampai saat ini- cenderung pada pendapat kedua di atas yaitu mengikuti fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa wanita hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah dan tidak perlu meng-qadha. Lagi pula ini jelas lebih ringan bagi yang bersangkutan. Wallahu a’lam.

Bagaimana cara membayar fidyah?


Dalam beberapa riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa fidyah puasa Ramadhan dibayarkan dengan satu mudd (segenggam penuh tangan orang dewasa) burr (gandum terbaik). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abbas adalah setengah sha’ = dua mudd gandum. Berhubung tak ada nash juga dalam masalah ini maka baiknya disamakan saja dengan zakat fitrah baik barang maupun uangnya. Sebaiknya dibayarkan kepada orang miskin atau orang tak mampu. Boleh kepada satu orang untuk semua hari atau beberapa orang.

Dalam sebuah riwayat dari Ayyub bahwa Anas bin Malik rahimahullah ketika sudah tua dan tak mampu puasa beliau membayar dengan cara mengundang 30 orang miskin untuk satu kali makan di rumahnya, dan itu adalah pembayaran untuk 30 hari tidak puasa. (Lihat riwayatnya dalam Sunan Ad-Daraquthni, no. 2415).
Silahkan pilih mana yang menurut anda lebih gampang. Semoga bermanfaat.

وصلى الله على محمد وعلى آله وسلم

Referensi:

  1. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd (Al-Hafid), Dar Al-Jail Beirut, cet I 1989 M. 
  2.  Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili, program maktabah syamilah. 
  3. Fiqh As-Sunnah, As-Sayyid Sabiq, penerbit: Al-Fath lil I’lam Al-’Arabi, cet II, 1999 M. 
  4. Al-Hidayah syarh Bidayatul Mubtadi, Ali bin Abu Bakr Al-Marghinani, Dar Al-Fikr Beirut tanpa tahun. 
  5. Irwa` Al-Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktab Al-Islami, cet. 1985. 
  6. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kementerian Urusan Waqaf Kuait, program maktabah syamilah.
  7.  Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, program Maktabah Syamilah edisi II. 
  8. Al-Mushannaf, Abdurrazzaq Ash-Shan’ani, tahqiq: Habiburrahman Al-A’zhami, Program maktabah syamilah edisi II.
  9.  Sunan Ad-Daraquthni, program maktabah syamilah edisi II. 
  10. Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ibnu Al-Jauzi, cet I 1422 H. 
  11. Tafsir Ath-Thabari, tahqiq Syekh Ahmad Muhammad Syakir, Muassasah Ar-Risalah, cet I 1420 H.
Bogor, Minggu tanggal 17 Mei 2009, jam 14.00 – 14.55.

Anshari Taslim

Memories Of Hong Kong



I just thank to Allah, the only one God for all of the blessings. It’s a great honor and privilege for me to be here with a lot of professors from The University of Hong Kong, one of the best and reputable university in Asia (2nd rank; top-universities, 2016). Keep spirit and just continue travelling around the globe.

Pokfulam, 25 Ramadhan 1437 H

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India